Jakarta (ANTARA News) - Sikap pemerintah terhadap terbitnya majalah Playboy versi Indonesia pada 7 April 2006 dinilai sejumlah kalangan mengecewakan, karena menyiratkan ketidakmampuan pemerintah melindungi masyarakatnya dari pengaruh buruk media yang berbau pornografi. Hal tersebut dikemukakan oleh juru bicara Hizbut Thahrir Indonesia, Ismail Yusanto, yang dihubungi ANTARA, Kamis. Ia menyatakan kecewa atas pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil, yang menyebutkan bahwa sulit bagi pemerintah untuk melarang penerbitan majalah Playboy karena pemerintah tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. "Terus terang kami kecewa dengan sikap Menkominfo. Bila belum apa-apa sudah menyatakan tidak berwenang apalagi kami-kami ini. Alasan yang diberikan sangat dangkal, terlebih bagi pemerintahan di negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar," kata Ismail. Ia menambahkan sebetulnya pemerintah bisa menggunakan pasal-pasal mengenai barang-barang yang dinilai cabul, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Memang betul ada perspektif legal formal untuk melarang penerbitan majalah semacam itu, namun juga harus menjadi pertimbangan nilai-nilai edukasi, nilai-nilai masyarakat dan juga agama," katanya. Ismail menambahkan penerbitan majalah yang mengandung unsur pornografi tersebut dapat dijerat dengan Pasal 281 dan Pasal 281 KUHP terkait penayangan, penjualan dan penyebaran barang cabul. "Satu hal lagi yang harus kita ingat adalah dalam media massa ada tiga unsur yaitu informasi, pendidikan dan hiburan. Tapi hal yang harus diutamakan adalah pendidikan. Sejauh ini saya melihat media massa masih mengutamakan unsur informasi dan hiburan sementara unsur pendidikan seringkali terlupakan," katanya. Oleh karena itu, Hizbut Thahrir bersama dengan Majelis Ulama Indonesia dan juga sejumlah ormas Islam lainnya pada Kamis (13/4) siang sekitar pukul 13.00 WIB akan mendatangi redaksi majalah Playboy dan Popular di kawasan Jakarta Selatan untuk menyampaikan keberatan dan protes mereka atas terbitnya majalah-majalah tersebut. "Sementara kami pilih dua majalah itu dulu. Kami akan meminta mereka untuk dalam jangka waktu sepekan menarik semua majalah yang diterbitkan. Bila tidak juga dilakukan kami akan mengajukan tuntutan hukum dengan menggunakan pasal 281 dan 282 KUHP," ungkapnya. Sementara itu, ketika disinggung tentang sejumlah tindakan sweeping dan anarkis yang terjadi terkait dengan terbitnya majalah Playboy tersebut Ismail menyatakan HTI akan menghindari terjadi tindakan-tindakan yang menjurus anarkis. "Jika terjadi tindakan anarkis, justru permasalahannya akan melebar, kita akan hindarkan itu terjadi. Jadi yang akan dilakukan adalah bertemu, berdialog namun jika tidak juga menarik penerbitannya, kita akan menempuh jalur hukum," kata Ismail. Sebelumnya pada acara dialog dengan Direktur Bank Dunia Paul Wolfowitz pada Selasa (11/4) Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga menyatakan kekecewaannya atas pernyataan Menkominfo terkait penerbitan Playboy versi Indonesia. "Menkominfo kok menurut saya seperti tumpul hatinya. Persoalan bangsa harus dilihat dengan hati nurani tidak bisa dengan legal formal saja," ujar Din. Din juga mengimbau aksi-aksi menentang penerbitan majalah itu untuk tidak menjurus pada tindakan-tindakan anarkis karena dinilai tidak akan menyelesaikan masalah. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006