Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dari RSKD Duren Sawit, Lisdayanti mengemukakan bahwa perempuan lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki, dengan prevalensi 15-25 persen sedangkan laki-laki 5-12 persen.

"Prevalensi depresi untuk perempuan sekitar 15-25 persen, laki-laki 5-12 persen. Kenapa perempuan lebih banyak? Banyak teori yang mendasari, tapi utamanya karena faktor ketidakseimbangan hormon," kata Lisdayanti dalam acara bincang-bincang kesehatan mental yang digelar virtual, diikuti di Jakarta, Senin.

Ia menjelaskan perempuan banyak mengalami fase yang menyebabkan hormonnya menjadi tidak seimbang, seperti fase setelah melahirkan dan menjelang menopause atau berakhirnya siklus menstruasi.

Baca juga: Psikiater: Gangguan cemas punya gejala mirip depresi

"Selain itu, perempuan juga lebih rentan terhadap stres, jadi ambang stresnya lebih rendah. Kemudian perempuan juga lebih banyak terpapar dengan stresor," ujarnya.

"Kalau perempuan yang menikah lebih mudah depresi, kalau laki-laki yang single, baik dia memang lajang atau duda," katanya.

Lisdayanti yang juga anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) itu mengatakan bahwa depresi juga sering dialami oleh orang yang berusia 20-40 tahun, tinggal di perkotaan, serta memiliki kepribadian tertutup, mudah cemas, sensitif, tidak bisa melakukan sesuatu sendirian, mengalami isolasi sosial, dan tidak bekerja.

"Stresor juga, ini sifatnya tergantung persepsi orang tersebut terhadap stresor. Kalau dalam satu tahun banyak kejadian, tekanan, masalah, ini juga bisa jadi pencetus depresi, kemudian ekonomi juga bisa jadi pemicu," imbuhnya.

Adapun gejala depresi, kata Lisdayanti, meliputi afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang terjadi sekurang-kurangnya dalam kurun waktu dua minggu.

Baca juga: Praktisi: Mendengarkan musik bisa hilangkan kecemasan dan depresi

Baca juga: Psikiater tekankan pentingnya deteksi dini gejala depresi


Gejala lainnya adalah kurang konsentrasi, kurang percaya diri, merasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, dan memiliki pemikiran untuk membahayakan diri, bahkan bunuh diri.

Lisdayanti yang berpraktik di RSKD Duren Sawit itu mengatakan bahwa secara global, kasus depresi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Untuk itu, perlu dilakukan tindakan-tindakan pencegahan untuk meminimalkan kasus depresi.

Ia menyarankan untuk menjalani Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), makan makanan bergizi, dan melakukan aktivitas fisik, termasuk berolahraga.
"Sinar matahari juga bisa mencegah depresi, musik, dan makanan yang mengandung probiotik seperti yogurt," tutup Lisdayanti.

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Endang Sukarelawati
COPYRIGHT © ANTARA 2022