Oxford (ANTARA News) - Konser musik gamelan Indonesia yang dibawakan pemain Inggris dari Oxford Gamelan Orchestra untuk meramaikan Oxford Folk Festival 2006 di Inggris, akhir pekan lalu, mengundang kekaguman para penonton yang sebagian besar masyarakat Inggris yang tinggal di kota pelajar Oxford. "Pertunjukannya bagus sekali, kami sangat menikmatinya," ujar Jill Headey yang datang bersama suami, Dave Headey. Pasangan itu menyaksikan pertunjukan Gamelan "Kyai Segara Madu" dengan menampilkan sinden Esther Wilds yang mahir melantunkan tembang-tembang seperti "Lumbung Desa" dan "Sontoloyo". Penampilan Gamelan "Kyai Segara Madu" yang dibentuk oleh musisi muda pembuat gamelan Plongoh dan Surono di sebuah desa Mocolaban, Jawa Tengah, itu diawali dengan memainkan tembang "Gonjang Pati" dan "Wilujeng". Kemudian dilanjutkan dengan tarian "Retna Pamudya" yang dibawakan oleh penari Aloysia Neneng Yunianti. Tarian Retna Pamudya yang menceritakan tentang pahlawan lengendaris Srikandi sedangbelajar memanah merupakan penggalan dari kisah Mahabharata yang dimainkan dengan lemah gemulai oleh Neneng dari Moncar Dance Company. Pertunjukan yang berlangsung selama dua jam itu juga menampilkan tarian "Gambyong Pangkur" yang dibawakan oleh penari Dorothea Quin Haryati dan Ningtyas Puji Kurniastanti serta "Gatutkaca Gandrung" oleh penari Agung Kusumo Widagdo dari Moncar Dance Company yang dibentuk oleh para lulusan STSI Surakarta. Pertunjukan Gamelan tidak saja membuat kagum sekitar 100 warga Inggris di Oxford yang menyaksikan pagelaran konser musik gamelan tetapi juga beberapa keluarga Indonesia yang tinggal di Kerajaan Ingggris. Lismah Rahmawati datang bersama suami yang sedang mendalami masalah pertahanan di Swindon serta putra dan putri mereka yang berangkat remaja mengakui apresiasinya terhadap kesenian Indonesia terutama gamelan menjadi sangat tinggi, apalagi alat-alat kesenian tradisional itu dimainkan oleh bangsa lain. "Biasanya apresiasi kita terhadap budaya sendiri menjadi sangat tinggi bila tidak sedang berada di kampung halaman," ujar Lismah yang merasa bangga menyaksikan kebudayaan Indonesia yang dimainkan orang asing, khususnya orang Inggris yang dan pernah mengikuti workshop (family learning week) di Oxford bersama keluarga Inggris lainnya tentang gamelan. Begitupun dengan Lisa dan Dewi Setyorini yang datang bersama suami orang Inggris sangat menikmati pertunjukan gamelan yang dibawakan Oxford Gamelan Orchestra yang para pemainnya terdiri atas kelompok pemain amatir yang mengadakan latihan setiap hari Rabu dibawah pelatih Pete Smith. Sementara itu, Sinden Esther Wilds mengakui bahwa di awal-awal belajar menyinden di STSI Surakarta lima tahun lalu ia mengalami kesulitan dan bahkan nyaris putus asa, namun karena keinginan kuat untuk mendalami kesenian tradisional Indonesia serta kecintaannya akan musik yang menjadikannya seorang sinden yang cukup terpandang di Britania Raya, karena jumlah sinden yang ada di UK bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. "Its hard work, but its worthy," ujar Esther yang akan ke berkunjung ke Solo Agustus mendatang. "Teman saya mau mantenan," ujar gadis tinggi semampai yang mengenakan kebaya biru yang sangat serasi dengan konde yang dikenakannya. Para pemain gamelan yang tergabung dalam Oxford Gamelan Orchestra itu terdiri atas David McCann, yang mahir memainkan bonang meskipun ia tidak dapat melihat, Peter Micklethwait, berdarah biru yang berusia 61 tahun, Martyn Bull, serta ibu-ibu Inggris Jude Carroll dan Isabelle Carre serta Dyan Leake. Pertunjukan itu juga diramaikan oleh bintang tamu para pemain gamelan andal yang berada di London seperti Aris Daryono, Nikhil Dally, Malcolm Milner dan Jonh Whitfield dan para pelajar musik gamelan dari Oxford seperti Callum Kennedy, Noel Lobely, Joe Luna, Stephan Johnstone, Nomi Lobely, serta Clare Jones. Oxford Folk Festival 2006 yang menampilkan berbagai kesenian tradisional dari berbagai musik dan juga kesenian dari berbagai negara itu merupakan acara tahunan yangmenjadi acara tersebut sebagai hiburan keluarga. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006