Jakarta (ANTARA) - Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyarankan agar pemerintah mengatasi persoalan efisiensi produksi yang disebut sebagai salah satu penyebab tingginya harga pangan domestik.

“Proses produksi yang efisien merupakan salah satu kunci pangan yang terjangkau dan berkualitas,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.

Azizah mengatakan bahwa saat ini negara melalui Badan Pangan Nasional mengelola 11 komoditas pangan perlu diikuti kemampuan untuk mengatasi persoalan efisiensi produksi. Kesebelas komoditas tersebut adalah beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng dan ikan.

Menurut dia, terdapat berbagai persoalan yang masih ada pada produksi pangan di Tanah Air, seperti tingginya ongkos produksi, minimnya adopsi teknologi pertanian dan minimnya akses petani terhadap input pertanian berkualitas.

Petani, kata Azizah, masih menemui beberapa kesulitan mulai dari benih, pupuk, akses permodalan dan keterbatasan lahan yang berimbas pada proses produksi yang tidak efisien. Belum lagi ongkos logistik di Indonesia masih tinggi.

Untuk itu, Azizah mengatakan pengelolaan 11 komoditas pangan yang akan dilakukan Badan Pangan Nasional perlu memperhatikan dinamika persoalan pangan domestik dan internasional.

Di level domestik, persoalan rantai pasok pangan dari hulu hingga hilir yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi, menciptakan sistem logistik yang terintegrasi antar satu daerah dengan daerah lainnya, adopsi teknologi pasca panen dan pengolahan limbah pangan perlu diatasi dengan kebijakan yang tepat sasaran.

Dia menyebut perlu pembukaan investasi di bidang lemari penyimpanan berpendingin atau cold storage untuk mengurangi tingkat kehilangan pangan dan limbah pangan dalam proses distribusi.

Di tingkat internasional, lanjut Azizah, kerentanan sistem pangan Indonesia akibat konflik global sangat besar. Ketahanan pangan Indonesia juga terancam akibat adanya berbagai kebijakan proteksionis dari negara lain.

Azizah mencontohkan negara India yang pernah menghentikan ekspor gula, dan Indonesia sendiri sempat melarang ekspor (CPO) karena memprioritaskan kebutuhan dalam negeri.

“Impor pangan dilakukan kebanyakan dari negara dengan tingkat efisiensi produksi tinggi, maka konsumen akan diuntungkan dengan harga pangan yang terjangkau dan produk berkualitas lebih baik. Sekali lagi persoalan efisiensi produksi perlu diatasi,” kata dia.

Dia menyebut perlunya keberpihakan yang efektif dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pangan Nasional, kepada produsen, serta meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan swasta.

Alih-alih melarang impor, kata Azizah, pemerintah perlu mempermudah akses petani kepada faktor produksi, seperti benih yang berkualitas. Pemerintah juga dapat memberdayakan riset dan pengembangan bibit varietas unggul, serta membuka peluang keterlibatan swasta dalam proses modernisasi pertanian.

Baca juga: Peneliti: inovasi, teknologi efektif tingkatkan produksi pertanian

Baca juga: BRIN: Kuasai teknologi produksi sorgum antisipasi krisis pangan

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2022