Bondowoso (ANTARA) - Selama ini kita hanya mengenal peran kaum muda Kota Surabaya dan santri dalam pertempuran 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan saat ini.

Peran kaum santri dan ulama yang lebih esensial dan kemudian menjadi motor utama penggerak perlawanan terhadap pasukan penjajah adalah "Resolusi Jihad" yang dikeluarkan oleh Rais Akbar PBNU Hadratusy Syech K.H. Hasyim Asy'ari.

Di Balik cerita itu, sesungguhnya ada santri lain yang juga ikut terjun ke medan pertempuran di Kota Surabaya, yakni kaum bajingan (penjahat, pencopet) yang telah insaf atau setidaknya telah mau diajak insaf, hasil binaan ulama terkemuka kala itu, yakni K.H.R. As'ad Syamsul Arifin, dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Para santri mantan bajingan itu terorganisasi dalam paguyuban bernama "Pelopor". Karena bukan organisasi resmi, nama ini juga tidak ada yang baku. Ada juga yang menyebut "Palopor". Kata “palopor” lebih familier dengan lidah berbahasa Madura. 

Paguyuban Palopor ini sebetulnya merupakan rintisan dari orang tua Kiai As'ad, yakni K.H.R. Syamsul Arifin. Pada saat dibina oleh Kiai Syamsul, anggota Palopor ini "hanya" mendapatkan pembinaan secara agama sehingga mereka betul-betul diharapkan meninggalkan kebiasaan perilaku jahatnya di masyarakat.

Baru pada masa Ponpes Salafiyah Syafi'iyah dipimpin oleh Kiai As'ad, para anggota Palopor banyak digerakkan untuk membantu perjuangan melawan penjajah, salah satunya saat Kiai As'ad bersama anggota Palopor mengusir sisa-sisa tentara Jepang di Garahan, Kabupaten Jember, sekitar September 1945. Mereka juga terlibat dalam pertempuran melawan tentara Belanda di daerah Pasir Putih, Situbondo.

Selain populer dalam cerita di masyarakat kawasan Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi dan Probolinggo, kisah dan peran mantan bajingan ini juga tercatat dalam buku "Sang Pelopor; Kisah Tiga Kiai dalam Mengelola Bekas Bajingan" karya Samsul Arifin.

Samsul mengisahkan pada September hingga Oktober suasana di Kota Surabaya memanas karena datangnya tentara Sekutu, khususnya Inggris. Bersamaan dengan itu warga dan tentara Belanda yang telah bebas dari penjara di bawah kekuasaan Jepang mulai memperlihatkan kepongahannya. Para pejuang di kota itu tidak terima dan jiwanya bergolak untuk berperang melawan Sekutu, yang kala itu Belanda juga menunggangi kedatangan tentara Inggris di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Para pejuang mencium gelagat Belanda akan kembali menjajah Indonesia, khususnya di Surabaya.

Menghadapi situasi memanas, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengadakan sidang pada 22 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Rais Akbar PBNU K.H. Hasyim Asy'ari dan dihadiri seluruh konsul NU dari seluruh Jawa.

Pertemuan di Kantor PBNU, saat masih di Surabaya, sebelum pindah ke Jakarta, itu kemudian menghasilkan "Resolusi Jihad" yang fenomenal dalam menggerakkan para pejuang untuk datang ke Surabaya guna mengusir penjajah.

Pada pertemuan di Kantor PBNU di Surabaya, K.H.R. As'ad Syamsul Arifin juga menjadi salah satu ulama yang hadir. Kiai As'ad adalah salah seorang santri dari Kiai Hasyim Asy'ari dan merupakan mediator komunikasi rencana pendirian NU antara K.H. Hasyim Asy'ari dengan gurunya Syaekhona Kholil Bangkalan. Kiai As'ad dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2016.

Setelah pertemuan usai, Kiai As'ad kemudian bergerilya ke wilayah Madura untuk menggerakkan mantan bajingan yang tersebar di sejumlah kabupaten di Pulau Garam itu. Meskipun pondok pesantren Kiai As'ad berpusat di Sukorejo, Situbondo, pengaruh kiai kharismatik itu di Pulau Madura juga tinggi. Maklum, selain pernah menjadi santri dari Syaekhona Kholil Bangkalan, Kiai As'ad juga besar bersama keluarganya di Kembang Kuning, Kabupaten Pamekasan, Madura.

Kiai As'ad kala itu menuju Madura ditemani santri kepercayaan, Bingdereh (Gus) Miskun. Wilayah Bangkalan adalah yang pertama dituju.

Sebelum pergi menuju Madura, Kiai As'ad sempat bimbang dalam menentukan pilihan siapa yang akan diajak berperang. Kalau kiai, andai nanti banyak yang gugur, kemudian siapa yang akan mengajar santri belajar agama. Kalau pilihannya santri, nanti juga banyak yang gugur, siapa yang akan menjadi penerus ulama dalam menyebarkan ajaran serta nilai-nilai agama. Sempat juga terpikir menggerakkan orang tua santri. Kalau banyak yang gugur, terus siapa yang akan membiayai keperluan pendidikan para santri itu.

Maka pilihan terakhir dan dinilai tepat adalah para bajingan. Setidaknya mereka memiliki modal dasar dalam berperang, yakni keberanian.

Di Bangkalan, Kiai As'ad menemui Kiai Mukaffi Makki dan menjelaskan isi Resolusi Jihad dari K.H. Hasyim Asy'ari. Kiai As'ad juga meminta Kiai Mukaffi untuk mengontak tokoh bajingan.

Setelah itu, Kiai As'ad bergerak ke timur, menuju Sampang. Ia menemui tokoh ulama dan meminta para bajingan untuk berkumpul. Demikian juga saat mengunjungi Pamekasan dan Sumenep. Di setiap kabupaten, para bajingan itu dikumpulkan untuk kemudian dikirim ke Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, guna dilatih ilmu kanuragan (kekebalan tubuh) agar lebih mumpuni menghadapi tentara musuh.

Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo yang biasanya hanya dihuni santri muda, kemudian--kala itu--bertambah dengan santri istimewa para mantan bajingan. Bajingan dari empat kabupaten di Madura berbaur dengan bajingan dari Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi, dan Probolinggo.

Samsul, dalam buku "Sang Pelopor", tidak menjelaskan detail mengenai tanggal dan bulan para mantan bajingan itu dari Situbondo dikirim ke Surabaya. Hanya dijelaskan bahwa pasukan Palopor binaan Kiai As'ad itu bertempur di wilayah Tanjung Perak dan Jembatan Merah, Surabaya.

Diceritakan juga bahwa Kiai As'ad bersama ulama-ulama lainnya juga terjun langsung ke arena pertempuran bersama para santrinya.

Di Kota Surabaya, Kiai As'ad bermarkas di rumah Kiai Yasin bersama kiai-kiai yang dikenal memiliki ilmu kanuragan tinggi, seperti Kiai Maksum dan Kiai Mahrus Ali Kediri, serta ulama-ulama lainnya.

Kisah ini makin menegaskan bahwa kaum santri bersama ulama dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan tidak diragukan lagi. Bahkan tokoh, semacam Kiai As'ad telah menunjukkan peran besarnya dalam membina masyarakat, termasuk kaum bajingan yang di masyarakat dicap sebagai kaum tidak berharga.

Namun, berkat gemblengan dan bimbingan para kiai, kaum bajingan insaf ini dengan sadar menyalurkan nyali mereka dalam aksi heroik membela bangsa.





Editor: Achmad Zaenal M


 

Pewarta: Masuki M. Astro
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2022