Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Ni’matul Huda memaparkan sebelas tantangan yang perlu ditaklukkan oleh berbagai pihak, terutama penyelenggara dan pemerintah, dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 agar pesta demokrasi tersebut terlaksana secara berkualitas.

"Tantangan dalam pemilu dan pemilihan ini, pertama yang sekarang sudah mulai di media sosial, yaitu polarisasi di tengah masyarakat akibat persebaran informasi lewat media sosial," ujar Ni'matul saat menjadi narasumber dalam seminar nasional bertajuk Menyongsong Pemilu Serentak 2024, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Jakarta, Selasa.

Berikutnya, tantangan yang kedua adalah persoalan pemanfaatan politik identitas dan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan untuk kepentingan pemenangan kandidat-kandidat tertentu dalam kontestasi Pemilu 2024.

Ketiga, politik uang. Menurut dia, politik uang merupakan tantangan yang senantiasa muncul dalam penyelenggaraan pemilu dan sulit untuk dibuktikan.

"Kemudian, netralitas aparatur sipil negara (ASN). Pada tahun 2019 dan 2020 lalu, KASN menemukan sekitar 700 lebih pelanggaran netralitas ASN, tapi tidak ada yang ditindak karena kepala daerahnya adalah calon yang terpilih. Makanya, ASN-nya aman karena dia menjadi tim sukses. Juga TNI dan Polri, ini harus ada netralitas,” ucap dia.

Selanjutnya, Ni'matul menyampaikan tantangan kelima yang perlu ditaklukkan dalam Pemilu 2024 adalah keberpihakan dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu kepada calon.

Lalu, ada pula persoalan mengenai penggunaan dua rezim undang-undang, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang membuat pelaksanaan Pemilu 2024 dan penegakan hukumnya pun menjadi semakin kompleks.

Ketujuh, lanjut dia, adalah persoalan pejabat negara, termasuk menteri dan penjabat setingkat menteri yang tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya jika hendak menjadi peserta Pemilu 2024. Ketentuan itu dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68/PUU-XX/2022.

Menurut Ni'matul, ketentuan itu dikhawatirkan dapat memunculkan terjadinya pemanfaatan fasilitas negara dalam berkampanye.

Berikutnya, tantangan kedelapan adalah beban penyelenggara pemilu dan pemilihan yang besar karena pemilu dan pemilihan tersebut akan diselenggarakan secara serentak. Ada pula tantangan berkenaan dengan rekrutmen sumber daya manusia badan ad hoc pemilu dalam jumlah besar dan memastikan kapasitas mereka dalam melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.

"Kesepuluh, sebagian besar anggota bawaslu provinsi akan berakhir masa jabatannya pada akhir tahun 2022 dan anggota KPU provinsi pada pertengahan 2023. Jadi, mereka yang baru direkrut itu harus menjadi penyelenggara pemilu yang besar. Itu masalah yang tidak mudah diselesaikan," ucap Ni'matul.

Terakhir, tantangan dalam Pemilu 2024 juga terletak pada kemunculan tiga daerah otonomi baru, yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, serta ibu kota negara Indonesia yang baru, yakni Nusantara. Dengan demikian, Pemilu 2024 juga perlu dipersiapkan secara baik di daerah-daerah baru tersebut.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Didik Kusbiantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2022