Jakarta (ANTARA) - Manager Program Strata Satu Event di Universitas Prasetiya Mulya Hanesman Alkhair mengingatkan para pelaku industri event organizer (EO) mengenai dua hal penting dalam manajemen risiko guna mencegah insiden yang tidak diinginkan di suatu acara yang melibatkan massa.

Kedua hal tersebut antara lain antisipasi atas munculnya density alias kepadatan massa serta pergerakan tiba-tiba dalam kelompok massa (sudden movement).

“Dua hal ini merupakan titik kritis yang bisa membuat sebuah acara menjadi tidak kondusif, sehingga perlu diantisipasi oleh seluruh stakeholders acara seperti event organizer, aparat keamanan, dan sebagainya,” kata Hanes melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis.

Untuk mencegah timbulnya density, Hanes menjelaskan para pemangku kepentingan (stakeholders) sebuah event perlu membuat alur pergerakan pengunjung dengan sedemikian rupa.

Baca juga: Korban tragedi Kanjuruhan bertambah menjadi 135 orang

Sebagai contoh pemisahan antrean, penyekatan area penonton di sebuah acara festival atau konser musik, dan menempatkan lebih banyak petugas keamanan di titik-titik yang rawan terjadi kepadatan.

“Perlu ada pengaturan khusus agar tidak terjadi desak-desakan pada pengunjung,” ujarnya.

Sementara itu risiko sudden movement dalam sebuah acara biasanya terjadi ketika ada suatu kejadian yang menarik perhatian khalayak misalnya saat hujan turun atau kericuhan di satu titik.

Contoh sudden movement lain saat adanya informasi yang menarik perhatian massa dalam jumlah banyak seperti pada kejadian di Itaewon, Korea Selatan, di mana sekelompok massa tiba-tiba bergerak setelah mendapatkan informasi adanya seorang pesohor di salah satu kafe.

“Pergerakan tiba-tiba itu bisa menimbulkan kepadatan. Dikaitkan dengan karakteristik masyarakat yang perhatiannya cenderung tersedot pada gadget, situasi ini bisa menimbulkan risiko kepanikan ketika terjadi desak-desakan dan dorong-dorongan,” kata Hanes.

Dia mengatakan kondisi tersebut menjadi berbahaya karena massa yang tidak siap akan terimpit dan kesulitan untuk keluar dari situasi itu.

Baca juga: Konser NCT 127 hari pertama terpaksa dihentikan

Hanes menilai antusiasme atau animo masyarakat untuk mendatangi acara keramaian merupakan salah satu faktor munculnya berbagai insiden di sejumlah acara. Hal tersebut, menurut dia, terjadi karena setelah hampir dua tahun lebih masyarakat terkungkung pandemi. Dia mengingatkan kebiasaan baru pasca-pandemi yang membentuk karakteristik massa harus menjadi perhatian para penyelenggara acara.

“Situasi pandemi telah membentuk kebiasaan manusia baru, yang kemudian membentuk karakteristik massa yang baru pula,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan pelaku industri event organizer harus memahami pola konsumsi media sosial dan gadget pada masyarakat. Berbagai penelitian yang dilakukan para crowd scientist internasional disebutkan bahwa pola penggunaan gadget telah membentuk massa yang cenderung tidak awas terhadap situasi.

“Semua orang memakai ponsel pintar, tak terkecuali saat mereka mendatangi suatu acara keramaian. Perilaku orang-orang yang terlalu fokus dengan gadget, membuat mereka bisa kurang waspada terhadap situasi sekitar,” ujar Hanes.

Dia mengatakan saat ini para pelaku industri event ditantang untuk terus berkreasi menjawab keinginan pasar yang mulai bangkit pasca-pandemi COVID-19. Di sisi lain, imbuh dia, pelaku industri juga harus lebih bersikap hati-hati dan teliti dalam menerapkan manajemen massa, terutama untuk penyelenggaraan acara yang melibatkan khalayak dalam jumlah besar.

Baca juga: Harry Styles batalkan konser di Copenhagen karena insiden penembakan

Baca juga: Polisi selidiki insiden saat Ariana Grande tampil di panggung

Baca juga: Presiden Korsel minta maaf atas tragedi Halloween Itaewon

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2022