Jakarta (ANTARA News) - Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menyebutkan pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tentang pelarangan pelacuran merupakan kewenangan pemerintah daerah, namun Perda itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi kedudukannya dari Perda. Perda itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dan itu yang harus diperhatikan Pemerintah Daerah (Pemda) yang hendak membuat Perda, kata Sekjen Depdagri, Progo Nurdjadman, menanggapi pertanyaan wartawan, di Jakarta, Jumat. "Misalnya, Perda itu tidak boleh bertentangan dengan UU yang mengatur hak asasi manusia," katanya. Selain itu, ia juga menyebutkan Perda itu harus diupayakan seminimal mungkin terjadinya salah pengertian dalam penerapannya. Karenanya, petunjuk teknis (Juknis) dan prosedur tetap (Protap) Perda pelarangan pelacuran itu harus ada untuk memperkecil salah tafsir dalam menerapkannya. Ia mengatakan Depdagri telah memanggil Bupati Tangerang, dan telah diminta untuk membuat segera Juknis dan Protap Perda Pelarangan Pelacuran itu. "Jangan sampai terjadi karyawati yang pulang kerja larut malam ditangkap karena hanya berdasarkan dugaan sebagai pelacur," katanya. Mengenai rencana Pemkot Depok membuat Perda Pelarangan Pelacuran, Sekjen menegaskan Perda itu harus memiliki Juknis dan Protapnya agar tidak terjadi salah tafsir. Sementara itu, Perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran dimohonkan untuk diuji materil ke Mahkamah Agung (MA), Kamis (20/4). Permohonan tersebut diajukan oleh Tim advokasi Perda Diskriminatif yang terdiri atas LBH Jakarta, PBHI, LBH APIK, dan Mitra Perempuan yang menjadi kuasa hukum untuk tiga warga Tangerang yang mengajukan permohonan, yaitu Lilis Mahmudah, Tuti Rachmawati dan Hesti Pabowo. Pemohon meminta agar Perda tentang pelarangan pelacuran dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 4 ayat 1 Perda tersebut menyebutkan setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia atau mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk atau kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau di tempat-tempat lain di daerah.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006