Yogyakarta (ANTARA News) - Satu kali guguran lava yang baru pertama kali teramati oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta pada 27 sampai 28 April 2006 pukul 06.00 WIB, belum dapat menjadi indikasi terjadinya letusan Gunung Merapi (2.965). "Kalau cuma satu kali, masih tanda tanya karena banyak kemungkinan yang menyebabkannya," kata Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTK Yogyakarta, Subandriyo, Jumat. Guguran lava ke lereng Merapi dan masuk ke hulu Kali Lamat dengan jarak luncur 1.500 meter itu dapat disebabkan oleh desakan magma yang berada dalam perut gunung. Tetapi dapat pula karena kelapukan atau tekanan air hujan yang turun dalam kurun waktu lama. Indikasi peningkatan aktivitas yang berujung pada letusan baru dapat dipastikan apabila guguran lava yang teramati berlangsung secara terus menerus dan jumlahnya sudah mencapai puluhan kali. Ia menegaskan, status Gunung Merapi hingga Jumat (28/4), hari yang diramalkan menjadi waktu letusan, masih `siaga`, yang berarti belum ada letusan atau keluarnya materi vulkanik dari perut gunung. "Aktivitas Merapi masih siaga dan fluktuatif," kata dia. Data kegempaan dalam beberapa hari terakhir tercatat lebih sedikit. Berdasarkan pengamatan visual, asap solfatara berwarna putih tebal dengan tekanan lemah masih tampak. Tinggi asap maksimum 500 meter terukur dari Pos Jrakah pada pukul 05.40 WIB. Cuaca terlihat cerah pada malam dan pagi hari, sedangkan pada siang dan sore hari berkabut dan mendung. Guguran lava yang terjadi kali ini adalah yang pertama kali berhasil teramati, karena selama ini guguran bongkahan batu dari puncak gunung itu hanya terdengar oleh penduduk setempat dan terdeteksi oleh alat yang dimiliki BPPTK," demikian Subandriyo.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006