Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat, INSA (Indonesia National Shipowners` Association/asosiasi pemilik kapal nasional), Oentoro Surya, mengaku optimis dapat meraih hingga 10 persen biaya angkut ekspor Indonesia yang selama ini dinikmati armada laut asing. "Dari total ekspor kita, hanya di bawah empat persen yang menggunakan armada nasional. Ini masalah pengusaha kita yang umumnya enggan menggunakan kapal nasional karena dalam kontraknya ekspor FOB, bukan CNF," kata Oentoro usai rapat bersama berbagai asosiasi ekspor impor (AEKI, GINSI, dan lain-lain) serta Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) di Departemen Perdagangan, Jakarta, Jumat. Ia menargetkan peningkatan lima persen hingga 10 persen dari total biaya angkut ekspor Indonesia yang diperkirakan mencapai 15 miliar dolar AS per tahun jika implementasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan (SK Mendag No 20/M-DAG/PER/4/2006) dan Menteri Perhubungan (SK Menhub No KM 19 Tahun 2006) dapat efektif. SKB yang merupakan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 mengenai pemberdayaan industri pelayaran nasional tersebut mewajibkan pengangkutan barang/muatan impor milik pemerintah yang pengadaannya dilakukan oleh importir, diangkut kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Oentoro mengatakan volume pemakaian armada laut nasional untuk angkutan dalam negeri juga diharapkan mengalami peningkatan hingga 20 persen tahun depan. Untuk itu, INSA akan meminta kontrak jangka panjang agar bisa merencanakan penambahan armada dan mendapat jaminan pembayarannya pada bank. "Armada kapal itu padat modal, kapal tidak murah.Untuk menjamin bisa pembayaran hutang, kita minta jaminan muatan," katanya. Ia mengakui perbankan belum familiar dengan bisnis pengapalan, apalagi kepastian hukumnya belum ada. Namun dengan adanya ratifikasi aturan mengenai hipotik, maka bank tidak ada alasan untuk menolak pembiayaan dalam hal perkapalan. Meski demikian, Oentoro mengatakan masalah pembiayaan selain dari perbankan, masih dapat dipenuhi dari pasar modal. Saat ini anggota INSA memiliki 6.000 armada dengan berbagai kapasitas angkut. Sementara itu, harga kapal mencapai 2.000 dolar AS per tonnya. Dengan total volume ekspor Indonesia yang hampir 500juta ton saat ini, lanjut Oentoro, maka armada yang harus tersedia adalah setengah jumlah itu yaitu sekitar 200juta ton. Ukuran kapal untuk ke luar negeri umumnya antara 35-70 ribu ton, sedangkan kapal tanker besar biasanya berkapasitas 150 ribu ton. Oentoro berharap situs Informasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK) pada Juni 2006 sudah terbentuk sehingga SKB tersebut efektif terlaksana. INSA bersama para anggotanya yang telah membuat kontrak angkutan jangka panjang dengan pemilik barang akan menyusun perencanaan pengadaan kapal. Sementara itu, dalam cetak biru yang dikeluarkan INSA disebutkan, hingga tahun 2020 perusahaan pelayaran nasional baru bisa mendapatkan pangsa pasar pelayaran internasional sekitar 30 persen dari 550 juta ton peti kemas yang nilainya 22 miliar dollar AS. Pada tahun tersebut, perusahaan pelayaran nasional diperkirakan mendapatkan 80 persen dari 370 juta ton muatan yang nilainya mencapai Rp 23 triliun. Kondisi saat ini, kegiatan ekspor-impor yang dilayani kapal asing sebanyak 96,59 persen, sedangkan angkutan kargo dalam negeri yang dilayani kapal asing sebesar 46,8 persen.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006