Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo telah mengingatkan gubernur, bupati, dan wali kota tentang inflasi yang menjadi momok semua negara. Bahkan Presiden meminta kepada daerah untuk terus memperhatikan pergerakan inflasi dari jam ke jam.
 
Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung 2 tahun lebih telah memicu angka inflasi tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh negara di dunia. Meskipun pandemi COVID-19 telah melandai di banyak negara, sisa-sisa dampak ekonomi yang disebabkan oleh pandemi masih terasa.
 
Belakangan, perang Rusia dan Ukraina juga ikut memacu inflasi di setiap negara. Memang, perang yang terjadi bukan di Indonesia, namun perang antara Rusia dan Ukraina itu terus mengganggu ekonomi global, termasuk juga memberikan dampak ke Indonesia.
 
Hal tersebut disebabkan karena Rusia merupakan pemain besar di sektor ekonomi, pangan, bahan bakar, dan energi. Kemudian, Ukraina dibantu kekuatan Barat dan NATO,  juga memegang kendali global di berbagai sektor.
 
Rusia merupakan salah satu pengekspor minyak Bumi nomor empat terbesar di dunia dan energi terutama gas. Eropa sangat tergantung kepada Rusia. Rusia juga merupakan pengekspor gandum dan tepung nomor dua di dunia.
 
Akibatnya, perang tersebut menimbulkan gangguan terhadap rantai pasokan energi dan juga pangan dunia. Terganggunya pasokan pangan dan energi itulah yang memicu penurunan situasi ekonomi dan keuangan dunia.
 
Di dalam negeri sendiri, kondisi-kondisi tertentu juga bisa menyebabkan inflasi merangkak naik. Menurut BPS, faktor musiman menjadi penyebab kenaikan inflasi seperti kondisi pada akhir tahun.

Hari besar, liburan akhir tahun dan libur sekolah, bertepatan pada waktu yang sama, serta kondisi hujan dan jika terjadi permasalahan rantai pasokan pangan tentunya berpotensi mendorong kenaikan inflasi daerah.
 
Oleh karena itu, peran daerah sangat penting dalam mengatasi laju inflasi, terutama pada akhir tahun ini. Kondisi inflasi akhir tahun pun tentunya juga akan menentukan situasi perekonomian nasional di 2023.
 
Kementerian Dalam Negeri terus berupaya mengawal daerah agar terus menjaga angka inflasi berada pada kisaran 5 persen atau pada angka yang lebih baik lagi, di bawah 5 persen.
 
Untuk mengawal itu, Kemendagri secara rutin setiap minggu menggelar rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah. Penanganan inflasi pun dibuat seperti pandemi COVID-19, dan Kemendagri juga turun langsung ke daerah-daerah memantau situasi inflasi.
 
Penanganan seperti ketika menekan angka pandemi dilakukan dalam menangani inflasi, yakni dengan kerja sama yang baik pusat dan daerah, mengatur hal detail, serta pemantauan setiap waktu agar jika terjadi tren kenaikan angka inflasi, maka Pemerintah bisa langsung melakukan penyesuaian kebijakan dengan tepat.
 
Kemendagri merumuskan dan menekankan beberapa langkah penting dalam penanganan inflasi daerah. Pemda harus menjadikan upaya pengendalian inflasi sebagai isu prioritas dan bersinergi dengan semua pihak seperti saat pengendalian pandemi COVID-19.
 
Komunikasi publik yang efektif menjadi sangat penting agar tidak membuat masyarakat panik. Sebab, kepanikan masyarakat menjadi pemicu sentimen dan dampak ekonomi, seperti pembelian barang kebutuhan karena kepanikan.
 
Tim pengendalian inflasi daerah (TPID) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus aktif mengawasi dan bergerak cepat jika terjadi kenaikan angka inflasi.
 
Dengan TPID, daerah mesti terus melakukan pemantauan harga dan stok guna memastikan ketersediaan kebutuhan, menjaga pasokan bahan pokok dan barang penting, melaksanakan gerakan menanam tanaman cepat panen, operasi pasar murah, serta inspeksi mendadak.
 
Pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan daerah penghasil komoditas untuk kelancaran pasokan, merealisasikan anggaran belanja tidak terduga (BTT) bantuan sosial (Bansos), dana desa, dana alokasi umum, hingga pemanfaatan dana corporate social responsibility (CSR) untuk pengendalian inflasi.
 
"Jadi, tolong manfaatkan betul sisa akhir tahun untuk melakukan intervensi pada masyarakat, baik transportasi, kemudian kepada masyarakat-masyarakat yang sulit, para petani, nelayan, dan lain-lain, untuk mengendalikan inflasi. Operasi pasar, pasar murah, dan lain-lain, dapat dimanfaatkan," kata Mendagri Tito Karnavian.
 
Kemendagri bukan hanya sekadar mendorong pemerintah daerah supaya mengendalikan inflasi dengan menggunakan keuangan daerah saja.

Kalau hanya mendorong penggunaan bantuan tanpa dukungan regulasi, tentunya kepala daerah malah khawatir melaksanakan upaya penanganan inflasi, karena takut terjerat permasalahan hukum di kemudian hari.
 
Oleh karena itu, pemerintah daerah bisa berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
 
Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD yang bersangkutan, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.
 
Pemerintah juga mengatur jelas pemanfaatan anggaran bantuan tidak terduga (BTT) dalam Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 500/4825/SJ sebagai panduan bagi pemerintah daerah dalam merealisasikan BTT salah satunya untuk pengendalian inflasi.
 
Seluruh pemda dapat mengoptimalkan penggunaan BTT dalam rangka mengendalikan inflasi di daerah karena kondisi tersebut masuk dalam kategori mendesak sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (4) Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
 
Instrumen anggaran lainnya yang dapat digunakan pemda yakni dengan memanfaatkan 2 persen Dana Transfer Umum (DTU) untuk periode Oktober 2022 hingga Desember 2022.
 
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.
 
Oleh karena itu, pemerintah daerah diminta jangan ragu dalam mengendalikan dan menangani inflasi dengan pemanfaatan pengelolaan keuangan daerah melalui mekanisme bantuan tidak terduga.
 
Hal penting lainnya yang harus dilakukan pemerintah daerah pada akhir tahun yakni terkait manajemen pendapatan dan belanja daerah agar berjalan baik. Pemerintah daerah mesti berupaya memaksimalkan realisasi target pendapatan untuk memenuhi kebutuhan daerah.
 
Kemudian, pemda harus memanfaatkan sisa waktu di 2022 ini untuk maksimalkan belanja daerah sehingga uang yang beredar di masyarakat dapat menjaga angka inflasi terkendali.
 
Konsekuensi 

Menteri Dalam Negeri mengingatkan tentang konsekuensi kepala daerah yang tidak mampu mengendalikan inflasi. Jika kepala daerah merupakan hasil dari pemilihan kepala daerah, maka Pemerintah Pusat akan melayangkan peringatan sebagai sanksi karena tidak mampu mengendalikan inflasi.
 
Masyarakat pun diberikan peringatan sebagai literasi soal kepala daerah yang layak dipilih atau tidak, apalagi sudah mendekati Pilkada 2024. Salah satu indikatornya tentu terkait kapasitas dan kecakapan mengelola daerah agar terhindar dari inflasi.
 
Sedangkan bagi penjabat kepala daerah yang ditunjuk untuk memimpin hingga terpilihnya kepala daerah hasil Pilkada 2024, sanksinya bisa diganti bahkan sebelum masa jabatannya berakhir.
 
Mendagri pun secara terbuka memberikan pujian terhadap daerah yang mampu mengendalikan inflasi bahkan meminta daerah lain untuk mencontoh keberhasilan penanganan inflasi tersebut. Apresiasi itu disampaikan pada ratusan daerah yang telah melakukan upaya-upaya mengendalikan inflasi.
 
Namun, Mendagri juga tegas memperingatkan daerah yang belum melaksanakan upaya-upaya penanganan inflasi.
 
"Masih ada 52 daerah yang belum melakukan sama sekali, mudah-mudahan data saya yang salah. Akan tetapi kalau memang daerah tidak mengerjakan (upaya pengendalian inflasi) tolong teman-teman wartawan ekspos saja, biar publik nanti melihat siapa yang kerja siapa yang tidak," ujarnya.



editor: Achmad Zaenal M


 

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2022