Jakarta (ANTARA) - Isu krisis pupuk yang mencuat di forum G20 di Bali, beberapa waktu lalu, membuat banyak pihak berupaya mencari jalan keluar untuk mencegah atau keluar dari krisis.

Krisis pupuk yang dimaksud adalah pupuk anorganik sumber nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) yang harganya kian mahal dan semakin langka.

Analis Kebijakan Utama Kementan Dr. Muhrizal Sarwani menyebut lonjakan harga dan langkanya pupuk karena pengaruh bahan baku pupuk, seperti gas alam (bahan baku urea), batuan Phospat (bahan baku pupuk P), maupun KCl harganya meningkat.

Pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina yang belum berujung, serta kebijakan pembatasan ekspor beberapa negara penghasil pupuk untuk mengamankan pasokan pupuk dan produksi pangan dalam negeri merupakan pemicu harga bahan baku naik.

Beragam jurus oleh banyak pihak lantas ditawarkan untuk menjadi alternatif pupuk di kala pupuk anorganik langka. Pupuk organik dianggap menjadi kunci untuk keluar dari ketergantungan pada pupuk anorganik. Benarkah demikian?

Sesungguhnya benak publik awam di Tanah Air telah dijejali pemahaman keliru tentang pupuk anorganik dan pupuk organik. Seolah-olah pupuk organik adalah lawan dari pupuk anorganik, demikian pula sebaliknya.

Bahkan ada pula yang salah kaprah menyebut pupuk kimia vs pupuk organik. Padahal, baik pupuk organik maupun pupuk anorganik tersusun dari unsur-unsur kimia dan saling melengkapi.

Pupuk secara sederhana merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam tanah atau media untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik.

Pupuk lantas dibedakan menjadi pupuk anorganik dan organik. Yang disebut pupuk anorganik merujuk pada pupuk buatan, seperti urea, NPK, TSP, KNO3, dan KCl.

Sementara pupuk organik merujuk pada pupuk yang berasal dari makhluk hidup, seperti kotoran ternak ayam, sapi, kambing, serta sisa-sisa vegetasi yang dapat berupa padatan maupun cairan. Belakangan ada pupuk organik yang diperkaya hayati yang mengandung mikroorganisme juga digolongkan sebagai pupuk organik plus.

Celakanya pembedaan pupuk anorganik dan organik secara akademis ditafsirkan seolah-olah berhadap-hadapan oleh orang-orang awam, bahkan oleh pengambil kebijakan. Para ahli pemupukan yang berasal dari disiplin ilmu tanah selalu menganjurkan pemupukan berimbang sejak dulu kala.

Ilmuwan tanah mengenalkan pupuk dasar berupa pupuk anorganik, termasuk juga pupuk organik, sebelum penanaman atau sebagai pupuk dasar, lalu berikutnya pupuk anorganik, sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman.

Dengan kata lain, pada sistem pertanian konvensional, pupuk organik selalu masuk dalam resep pemupukan tanaman apapun, kecuali hidroponik.

Entah mengapa saat revolusi hijau di masa lalu, pupuk organik seolah lenyap dari paket resep pemupukan tersebut. Tanah pun menjadi "lapar" terhadap pupuk anorganik. Ada yang menyebut tanah telah sakit.

Dampaknya ketika kesadaran pentingnya pupuk organik hadir untuk memulihkan tanah yang "lapar" dan sakit, pupuk organik masuk sebagai lawan dari pupuk anorganik.

Ia tidak hadir sebagai pelengkap pupuk anorganik. Pengguna pupuk organik berkembang menjadi mazhab tersendiri. Demikian pula pengguna pupuk anorganik. Bila ini terus dibiarkan secara global, maka dunia dapat kembali celaka untuk kedua kalinya.


Rekomendasi pemupukan

Sudah saatnya banyak pihak keluar dari jebakan tersebut. Ada baiknya istilah rekomendasi pupuk digeser menjadi rekomendasi pemupukan untuk keluar dari berhadap-hadapannya pupuk organik dengan pupuk anorganik.

Pemupukan berbeda dengan pupuk seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pemupukan adalah komponen berupa paket atau cara memberikan sumber hara ke dalam tanah atau media tanam agar tanaman tumbuh dan berproduksi dengan baik.

Pemupukan kemudian dibedakan menjadi 2, yaitu pemupukan lengkap dan pemupukan tidak lengkap. Pemupukan lengkap adalah paket pupuk anorganik, pupuk organik, pupuk hayati, enzim, vitamin, dan elisitor.

Sementara pemupukan tidak lengkap adalah hanya sebagian dari komponen pemupukan lengkap yang ditambahkan. Pada praktiknya tentu pemilik lahan harus tahu kapan menggunakan pemupukan lengkap dan tidak lengkap.

Konsep dasar pemupukan untuk menentukannya adalah pemupukan berimbang, yaitu pemberian pupuk ke dalam tanah dengan jumlah dan jenis hara yang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan kebutuhan tanaman untuk mencapai hasil yang optimal.

Dengan demikian tidak semua hara harus ditambahkan, melainkan hanya ditambahkan hara yang dibutuhkan. Namun, kombinasi pupuk anorganik dan pupuk organik mutlak dilakukan untuk mendapatkan produksi optimal secara berkelanjutan.

Bila konsep tersebut telah dipahami, krisis pupuk anorganik, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak sebetulnya dapat disiasati agar pertanian Indonesia tahan terhadap terpaan kelangkaan dan harga pupuk yang melonjak.

Banyak riset-riset telah membuktikan bahwa pengurangan hingga 25 persen pupuk anorganik yang lazim digunakan tidak akan mengurangi produktivitas sepanjang 2 prasyarat dipenuhi. Dua prasyarat itu adalah pemberian tambahan pupuk organik sebagai kombinasi dan pengembalian biomasa tanaman yang tidak terbawa panen ke lahan.

Hanya dengan menggeser paradigma pupuk organik vis a vis pupuk anorganik menjadi kombinasi pupuk organik dan pupuk anorganik, maka pertanian Indonesia dapat selamat dari krisis pupuk.

Demikian pula bahan lain, seperti pupuk hayati, enzim, vitamin, dan elisitor adalah pelengkap pupuk organik dan pupuk anorganik.
Pemberian pupuk hayati, enzim, vitamin, dan elisitor tidak dapat diberikan tunggal tanpa pupuk organik atau pupuk anorganik.

Pada beberapa kasus memang mungkin saja produktivitas tanaman tidak terganggu dengan pemberian tunggal atau satu jenis saja. Namun, fenomena itu hanya akan terjadi pada beberapa musim tanam saja.

Tanpa penambahan pupuk anorganik, maka tabungan hara di dalam tanah dapat terkuras habis bila di lahan tersebut dilakukan penanaman terus menerus.

Dan selanjutnya pupuk organik diberikan pada jumlah yang mencukupi itu pun juga dapat terjadi pengurasan hara. Bila itu terjadi, krisis pupuk anorganik yang mencuat pada forum G20 benar-benar dapat membawa pada krisis pangan.


*) Dr. Ladiyani Retno Widowati, M.Sc adalah Kepala Balai Penelitian Tanah pada Badan Standardisasi Instrumen Pertanian dan Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional.


 

Pewarta: Dr. Ladiyani Retno Widowati, M.Sc dan Dr. Destika Cahyana, S
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2022