Jakarta (ANTARA News) - Banyaknya kasus korupsi di Indonesia, sebagian ada hubungannya dengan carut marutnya dunia perpajakan di negeri ini.

Contohnya kasus korupsi seorang pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Gayus Tambunan yang menggambarkan sedikit dari mozaik perpajakan di Indonesia. Ini membuat pandangan masyarakat terhadap pajak menjadi negatif sehingga banyak masyarakat menghindar membayar pajak.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan lemahnya reformasi birokrasi dalam Ditjen Pajak, membuat korupsi menjamur.

Untuk menghentikan kecenderungan ini, menurut Mahfud, perlu reformasi birokrasi yang radikal. “Banyaknya korupsi membuktikan ada yang tidak beres dalam perpajakan di Indonesia, birokrasi perpajakan di Indonesia itu lemah sehingga diperlukan reformasi birokrasi yang lebih ketat,” kata dia Jumat dalam suatu sesi wawancara pribadi.

Selama ini, yang terlihat aktif mengawasi adalah hukum fungsional dimana lembaga ekstra seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap dan menggelandang orang-orang Ditjen Pajak yang terlibat korupsi ke pengadilan.

“Pengawasan yang melekat dalam birokrasi harus diperbaiki. Melekat bukan dalam arti pengawasan hukum tetapi bentuk prosedur yang jelas dalam instansi yang mudah diketahui dan ditindak jika ada kesalahan yang melekat secara internal,” kata dia.

Remunerasi tak berpengaruh

Mahfud menyebut, semula remunerasi gaji pegawai akan mengurangi potensi penyelewengan pajak, padahal banyak dari mereka yang sudah naik gaji justru menerima suap sembari menyalahgunakan kedudukannya sebagai pegawai pajak. Dalam pandangan Mahfud, gaji kecil bukan penyebab seseorang korupsi.

Sebaliknya korupsi biasanya dilakukan orang yang sudah kaya, bukan orang-orang yang kekurangan materi atau bergaji kecil.

“Korupsi di Indonesia itu terjadi secara by greed bukan by need yaitu karena keserakahan semata seperti kasus Gayus yang bisa korupsi berulang-ulang," katanya.

Menurut dia apapun hal yang dilatarbelakangi keserakahan, maka remunerasi tak akan bisa menyelesaikannya. Yang harus dilakukan adalah pengawasan dalam birokrasi harus diperketat,” ujar dia.

Menurut dia, kini yang harus berperan lebih aktif dalam pengawasan fungsional adalah dari internal Ditjen Pajak, bukan lagi para penegak hukum seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan.

”Yang kini mengusut justru dari pihak luar sementara birokrasi tidak berubah. Kalau birokrasi ketat mana mungkin pegawainya bisa korupsi,” kata Mahfud.

Potensi besar

Sumbangsih pajak bagi negara amatlah besar. Tahun lalu, 80 persen penerimaan negara berasal dari pajak. Penerimaan pajak juga dianggap sebagai sumber penerimaan paling stabil, artinya tak pernah berubah drastis dari tahun ke tahun.

Sayang, akibat korupsi oleh sejumlah kecil pegawai pajak, negara harus kehilangan penerimaan pajak yang besar.

Korupsi pula yang membuat masyarakat memiliki alasan untuk menghindari pajak. Tercatat dari 100 juta lebih orang yang berpotensi  menjadi Wajib Pajak, hanya 8,7 juta yang punya kesadaran dalam melaksanakan  kewajiban pajaknya.

“Yang membayar pajak hanya 20 persen dari potensi yang ada, padahal konon jika pajak bekerja efektif maka Indonesia tidak perlu meminjam dana ke luar negeri," katanya.

Ini karena dari sisa 80 persen wajib pajak saja sudah bisa menutupi berbagai macam pembangunan dan  kebutuhan negara, sambung Mahfud.

Whistleblowing system

Salah satu cara menekan korupsi dalam internal Ditjen Pajak adalah dengan program whistleblowing system dalam reformasi birokrasi di Indonesia. Mahfud sendiri menilai whistleblowing system bisa membantu menekan tingkat korupsi dalam satu instansi pemerintah. 

Ini karena seorang whistleblower bisa memberikan informasi mengenai kasus-kasus korupsi agar diketahui publik. “Ya saya setuju biar terbongkar semua kasus korupsi, karena wistleblower itu kan diibaratkan peniup peluit.

Sebagai imbalan karena ia memberikan informasi tentang sesuatu, maka dia akan mendapat keringanan hukuman dan kalau perlu tidak mendapatkan hukuman,” kata Mahfud.

Dari pandangannya, seorang whistleblower adalah orang yang melapor sebelum dia tertangkap pihak berwenang, mengungkap suatu kasus yang belum terungkap. Tapi, sepanjang sejarah reformasi birokrasi, di Indonesia belum pernah ada whistleblower.

“Sekarang ini orang kalau sudah tertangkap baru mengungkap,” katanya, padahal orang-orang yang tertangkap kemudian "bernyanyi" bukanlah masuk kategori whistleblower.

Ia mencontohkan kasus Nazarudin dan Wa Ode yang memberikan informasi setelah tertangkap aparat hukum. 

“Mereka bukan whistleblower namanya. Itu yang harus dihukum lebih berat. Mereka bukan whistleblower. Ngaku-ngaku saja mereka itu whistleblower. Padahal sama saja, maling cari selamat,” kata Mahfud lagi.

Ia menegaskan, pemerintah Indonesia harus menjamin keselamatan seorang whisltleblower dengan merahasiakan data si whistleblower ini sampai kasus terungkap.

“Ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai jaminan untuk whistleblower, jadi keamanan ditanggung negara,” pungkasnya.

Narasumber: Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Editor: Copywriter
COPYRIGHT © ANTARA 2012