Singapura (ANTARA News) - Harga minyak sedikit melemah dalam perdagangan Asia Selasa karena pasar menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya atas Iran dan program nuklirnya yang kontroversial, kata para dealer. Pada pukul 10:25 pagi (0225 GMT), kontrak utama New York , minyak mentah light sweet untuk pengiriman Juni turun satu persen menjadi 73,69 dolar AS per barel dari penutupannya sekitar 73,70 dolar per barel di Amerika Serikat Senin. Minyak mentah Laut Utara Brent 11 sen lebih rendah pada 73,78 dolar. Pasar sedang menunggu hasil pertemuan Selasa di Paris tentang lima anggota permanen Dewan Keamanan PBB yang membahas posisi bersama tentang bagaimana menghadapi Iran yang tidak patuh atas program nuklirnya. Pertemuan tersebut menyusul sebuah laporan Jumat oleh badan pengawas atom PBB, Badan Tenaga Atom Internasional, yang mengkonfirmasi Iran telah mengabaikan tuntutan untuk membekukan pengayaan uranium. Langkah apapun guna menampar Tehran dengan sanksi akan dengan segera menaikkan harga minyak mentah di atas 80 dolar, kata Dariusz Kowalczyk, seorang strateg investasi senior di CFC Seymour Securities yang berbasis di Hong Kong. "Ini merupakan masalah besar bagi pasar," katanya tentang situasi Iran, seperti dikutip AFP. Iran yang kaya minyak merupakan anggota terbesar kedua Organisasi Negara Negara Pengekspor Minyak setelah Saudi Arabia yang penting dan para analis kawatir sanksi apapun akan mengganggu pasokan minyak mentah negara itu kepada dunia. Iran menghasilkan empat juta barel per hari, sekitar setengahnya diekspor. "Tidak begitu jelas apakah komunitas internasional akan segera mampu untuk bergerak dengan cepat menangani masalah itu minggu ini karena akibat sanksi akan jelas menjadi malapetaka bagi pasar," analis Fimat Mike Fitzpatrick mengatakan. Pengumuman Bolivia yang sedang menasionalisasikan industri energinya menambahkan kekawatiran di pasar, menyoroti upaya untuk menguasai sumberdaya energi di dunia yang tertekan, para dealer mengatakan. Bolivia memiliki cadangan gas alam tertinggi kedua di Amerika Latin, di belakang Venezuela namun menghasilkan hanya sedikit minyak untuk kebutuhan domestik. Langkah tersebut diharapkan akan mempengaruhi sekitar 20 perusahaan minyak asing, termasuk Repsol Spanyol, Petrobras Brazil, BP Inggris dan British Gas dan kelompok Total Perancis. Ketika pasukan angkatan darat mengambil kendali atas ladang-ladang minyak, Morales mengatakan perusahaan energi asing musti menyepakati kontrak baru dengan perusahaan minyak yang dikelola negara Bolivia dalam 180 hari.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006