Abuja (ANTARA News) - Para penengah Uni Afrika, Selasa, mengatakan mereka akan menunda batas waktu perundingan perdamaian mengenai wilayah Darfur, Sudan, Kamis malam, perpanjangan 48 jam kedua kalinya pembicaraan itu. Seorang jurubicara Uni Afrika (AU) mengatakan Presiden Nigeria Olusegun Obasanjo mengusulkan perpanjangan itu agar satu kelompok kepala negara Afrika yang dijadwalkan Rabu berada di ibukota Nigeria, Abuja, tempat perundingan diselenggarakan dapat ikutserta. Sebelumnya Deputi Menlu AS, Robert Zoelick, mengatakan perundingan mengenai wilayah Darfur akan dilanjutkan Rabu. Pemerintah Sudan telah menyetujui rancangan penyelesaian setebal 85 halaman yang bertujuan untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan puluhan ribu orang. Akan tapi, tiga faksi pemberontak Darfur menolak menandatanganinya, dengan mengatakan mereka tidak setuju dengan usul-usul menyangkut keamanan, pembagian kekuasaan dan pembagian kekayaan. "Saya akan berada di sini besok (Rabu), di luar itu saya tidak tahu, kata Zoelick kepeda wartawan, Selasa petang, setelah satu hari melakukan pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai di ibukota Nigeria itu. "Salah satu dari masalah-masalah yang saya utarakan dalam perundingan saya hari ini adalah para pihak perlu mempertajam fokus mereka karena ini harus segera diselesaikan," kata Zoellick, sebagaimana dilaporkan Reuters. Uni Afrika, yang menengahi perundingan itu, sudah menunda selama 48 jam batas waktu semula pada 30 April. Zoelick dan Menteri Pembangunan Internasional Inggris Hilary Benn termasuk di antara para diplomat yang datang ke Abuja, Selasa untuk berusaha membujuk pemberontak menandatangani perjanjian itu. Pemberontak menekankkan sejumlah tuntutan mereka, seperti jabatan wakil presiden dan sebuah pemerintah wilayah, dipenuhi secara lengkap, kendatipun para penengah mengatakan bahwa untuk mencapai kompromi dengan Khartoum diperlukan waktu berbulan-bulan perundingan. Zoelick mengatakan sejumlah pemberontak, kendatipun tidak semuanya, melihat ada peluag untuk kompromi dalam pertemuan-pertemuan pribadi. Para pengamat mengatakan kegagalan untuk mencapai satu perjanjian akan merupakan malapetaka. "Tidak satu pihakpun akan memandang baik, AU, pemerintah atau gerakan-gerakan (pemberontak), tapi korban yang riil adalah orang di lapangan," kata Sam Ibok, ketua tim penengah AU. "Mereka tidak dapat pulang ke rumah mereka untuk mengolah tanah mereka. Mereka terpaksa menghabiskan waktu lebih lama lagi di kamp-kamp. Keamanan akan memburuk. Wanita akan terus terancam perkosaan dan anak-anak akan tetap menderita," katanya. Pemberontak mengangkat senjata awal tahun 2003 di Darfur yang dihuni berbagai etnik, satu daerah seluas Perancis, atas apa yang mereka anggap sebagai diabaikan oleh pemerintah pusat yang didominasi etnik Arab. Khartoum menggunakan milisi yang dikenal sebagai Janjaweed dan direkrut dari suku Arab, untuk menumpas pemberontakan itu. Pertikaian itu telah menewaskan puluhan ribu orang sementara aksi pembakaran, penjarahan dan perkosaan telah memaksa lebih dari dua juta orang meninggalkan rumah mereka dan ditampung di kamp-kamp pengungsi di Darfur dan negara tetangga, Chad. Washington, yang mencap aksi kerusuhan di Darfur sebagai "pembantaian", meningkatkan usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik itu. Presiden AS, George W. Bush menyerukan kepada rekan Sudannya, Presiden Omar Hassan al Bashir agar memperhatikan tentang perlunya pasukan PBB mengambil alih usaha pemeliharaan perdamaian di Darfur dari misi AU yang berkekuatan 7.000 personil, kata jurubicara Gedung Putih, Scott McClellan,kepada wartawan. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006