Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, terkait dengan gencarnya aksi penolakan buruh terhadap rencana pemerintah merevisi Undang Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mesti ada kompromi politik agar persoalan tidak berlarut. "Harus ada kompromi politik. Jadi harus ada negosiasi antara buruh, pengusaha dan pemerintah," kata Gus Dur usai menerima kunjungan Presiden Liberal Internasional Lord Alderdice dan rombongan di kantor DPP PKB, Kalibata, Jakarta, Rabu. Lebih lanjut Ketua Umum Dewan Syuro PKB itu menyatakan, pihaknya telah menyampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno bahwa PKB mengambil posisi mendukung keberadaan uang pesangon bagi pekerja tetap dipertahankan. "Persoalannya adalah siapa yang bayar, Jamsostek apa pengusaha. Kalau pengusaha berat karena banyak korupsi di sini," katanya. Sebelumnya saat berdialog dengan Alderdice, Gus Dur juga sempat menyinggung aksi buruh dan ekonomi biaya tinggi yang terjadi di Indonesia. Menurut Gus Dur, jika korupsi bisa dihilangkan maka pesangon bisa dibayar Jamsostek dan pengusaha. Caranya, pengusaha membayar biaya tambahan pada BUMN yang didirikan untuk kesejahteraan pekerja tersebut. Selain itu, katanya, perlu dilakukan revisi terhadap komisi tripartit yang sekarang teridri dari 40 persen pemerintah, 40 persen pengusaha dan 20 persen pekerja. Komposisi seperti itu, menurut Gus Dur, membuka ruang bagi terjadinya praktik kolusi. Menurut Gus Dur, komposisi komisi tripartit sebaiknya diubah menjadi pekerja 40 persen, pengusaha 40 persen dan 20 persen pemerintah. Dengan demikian, porsi wakil pemerintah dikurangi. "Mau nolong aja kok harus menguasai," katanya. Soal revisi UU Naker, Gus Dur berpendapat hal itu tak perlu dilakukan karena menurutnya UU tersebut sudah bagus, hanya saja dalam pelaksanaannya perlu terus dilakukan negosiasi. Jika pemerintah tetap berupaya merivisi UU itu dan membawanya ke DPR, Gus Dur mengingatkan bahwa pemerintah akan menanggung akibatnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006