Damsyik (ANTARA News) - Hamas dapat mengimbangi langkah Israel menuju perdamaian jika negara Yahudi itu setuju menarik diri dari seluruh tanah dudukannya sejak 1967 dan mengakui hak rakyat Palestina, kata pemimpin kelompok Hamas Khalid Meshaal hari Rabu. Tapi, Israel tampak tak mungkin melakukannya dalam waktu dekat, sehingga rakyat Palestina tidak memiliki pilihan selain terus melawan pendudukan itu, kata Meshaal di auditorium penuh mahasiswa di universitas Damsyik. "Jika Israel mundur sampai perbatasan 1967, termasuk Yerusalem, mengakui hak pulang, mencabut kepungan, membongkar permukiman dan tembok serta membebaskan tahanan, maka kami sebagai bangsa Palestina dan Arab dapat mengambil upaya nyata untuk mengimbangi langkah Zionis itu," kata Meshaal seperti dikutip Reuters. "Di luar itu adalah kemunafikan. Partai utama Israel memiliki empat tidak, yakni tidak mengakui batas 1967, Yerusalem, hak pulang dan membongkar permukiman, sehingga tidak ada kesempatan untuk kompromi," tambah Meshaal, yang bertahun-tahun hidup dalam pengasingan di Suriah. Kelompok keras Islam Hamas, yang melancarkan hampir 60 pemboman bunuh diri atas sasaran Israel sejak pembangkangan Palestina terjadi tahun 2000, menang mengejutkan dalam pemilihan umum Palestina bulan Januari 2006 dan membentuk pemerintahan pertamanya pada bulan Maret. Sejak itu, kelompok tersebut mengalami peningkatan tekanan Barat dan Israel untuk mengakui negara Yahudi itu, meninggalkan perjuangan bersenjata dan menerima kesepakatan damai, yang ditandatangani Organisasi Pembebasan Palestina dan Israel. "Kami memunyai hak alamiah untuk melawan pendudukan," kata Meshaal, "Kami akan berperang kalau itu dikenakan kepada kami. Kami akan berdamai bila itu tidak mengorbankan hak dan martabat kami." Meshaal membela pemboman bunuh diri Palestina dengan menyebutnya hak alamiah dan mengecam yang dinyatakannya napsu Amerika Serikat untuk menguasai Timur Tengah. "Musuh kami tidak mengerti bahwa gerakan bunuh diri adalah hak alamiah," kata pemimpin di pengasingan itu kepada mahasiswa di Damsyik, dengan menambahkan bahwa rakyat Palestina hidup di bawah pendudukan Israel dan memiliki hak untuk melawan dan mempertahankan diri. Tapi, Hamas, yang bertanggungjawab atas sebagian besar pemboman bunuh diri dalam lima tahun "intifadah"-nya, tidak melakukan serangan semacam itu atas Israel sejak menyepakati masa tenang sementara awal tahun 2005. "Amerika Serikat ingin menerapkan kekuasaannya atas negara di kawasan ini. Mereka tidak menawarkan hubungan seimbang, dengan kepentingan timbal-balik dan saling hormat," kata Meshaal. "Mereka yang mencoba mengangkat kepala di kawasan ini, seperti, Suriah, Iran dan kelompok perlawanan, semua dituduh melakukan terorisme," tambah pemimpin politik Hamas itu. Suriah dan Iran dituduh Amerika Serikat menaja terorisme, termasuk melalui dukungannya bagi Hamas. Perdana menteri baru Israel Ehud Olmert kemungkinan mengadakan pembicaraan pertama dengan pemimpin Palestina Mahmud Abbas setelah pertemuan tingkat tinggi di Washington bulan ini, kata anggota utama kabinet barunya. Olmert berjanji menggunakan mandat empat tahunnya untuk menarik kembali perbatasan Israel dari bagian wilayah pendudukan Tepi Barat dan menggabungkan blok permukiman Yahudi terbesar dengan atau tanpa persetujuan Palestina. Berdasarkan atas rencana itu, sekitar 70.000 pemukim Yahudi akan ditarik dari wilayah tersebut dan kendati mengatakan lebih menginginkan kesepakatan lewat perundingan dengan Palestina, ia bertekad melakukanya sendiri jika Palestina menolak.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006