Tanjungpinang (ANTARA) - Bentuk identitas kependudukan di Indonesia mengalami perubahan cukup signifikan sejak era kolonial hingga sekarang.

Rekam jejak dokumen kependudukan dimulai saat Belanda menjajah Indonesia, dikenal sebagai sertifikat kependudukan. Dokumen kependudukan itu berupa selembar kertas berukuran 15x10 sentimeter, yang diterbitkan oleh Hoofd Van Plaatselijk atau kepala pemerintahan wilayah.

Pada masa penjajahan Jepang sistem administrasi kependudukan di Indonesia berubah. Dokumen yang memuat identitas kependudukan pada saat itu dikenal dengan surat identitas propaganda. Terdapat tulisan kanji dan juga ejaan lama Bahasa Indonesia.

Kemudian pada awal kemerdekaan Indonesia periode 1945-1967, identitas kependudukan masih berupa selembar kertas tanpa laminating. Saat itu disebut Surat Tanda Kewarganegaraan Indonesia. Tidak seluruh Surat Tanda Kewarganegaraan Indonesia diketik dengan mesin tik, sebagian ditulis dengan tangan.

Desain surat identitas kependudukan berubah pada periode 1967-1970. Pada periode ini, surat identitas kependudukan diteken oleh Kepala Urusan Pendaftaran Penduduk. Selanjutnya, pada periode 1970-1977 desain identitas tanda pengenal warga Indonesia berubah, dari selembar kertas menjadi mirip buku nikah.

Perubahan bentuk identitas kependudukan kembali berubah pada periode 1978-2002. Saat itu, bentuk fisik tanda pengenal warga Indonesia tidak lagi menggunakan selembar kertas tipis, tapi berbentuk kartu yang terbuat dari kertas tebal. Bentuk kartu tanda penduduk (KTP) itu mirip seperti KTP elektronik, yang pada bagian depan terdapat logo kabupaten dan kota, pas foto yang ditempel, kolom tanda tangan atau sidik jari dilengkapi dengan nomor serial khusus, serta verifikasi pengesahan dari pejabat berwenang. Sementara di bagian belakang terdapat data identitas penduduk dan tanda tangan camat.

Masih ingat dengan KTP Kuning. Istilah KTP Kuning mencuat pada periode 2002-2004. KTP di periode tahun ini umum disebut dengan KTP Kuning. KTP ini tidak terlalu berbeda dengan KTP sebelumnya. Hanya pada lembaran data identitas pemilik yang berubah warna menjadi kuning.

Kemudian pada periode 2003 – 2014 terjadi darurat militer di Aceh. Penduduk yang tinggal di wilayah ini memiliki desain KTP yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. KTP ini kemudian dikenal dengan nama KTP Merah Putih, dengan bagian depan gambar burung Garuda serta teks Pancasila, sementara di bagian belakang selain pengesahan yang dilakukan oleh camat, juga disertai dengan tanda tangan dari komandan rayon militer serta kepala kepolisian sektor.

Dalam perkembangan sejarah administrasi kependudukan, periode 2004-2010 dikenal sebagai masa keemasan. Bentuk dan desain KTP berlaku secara nasional sehingga dikenal sebagai KTP Nasional. Foto pada KTP dicetak langsung pada kartu yang terbuat dari bahan plastik. Pengawasan serta proses verifikasi pengesahan berlaku dari tingkat RT/RW, tanda tangan atau cap jempol, nomor serial khusus, serta terdapat guilloche patterns.

Pada tahun 2011, perkembangan bentuk dan bahan KTP menjadi lebih baik. Sistem administrasi kependudukan pun mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk mencegah berbagai hal yang tidak diinginkan sebagai identitas ganda yang dimiliki seseorang. KTP itu kemudian dikenal sebagai KTP elektronik yang berlaku sampai sekarang. KTP elektronik menggunakan teknologi yang mampu menyimpan microchip sebagai penyimpan data berlaku secara internasional.

Perubahan bentuk KTP dari berbentuk fisik juga menyisakan berbagai permasalahan, seperti kurang efisien, potensial rusak dan mudah hilang karena selalu dibawa. Indonesia kemudian ingin mengembangkan identitas kependudukan digital.

Pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk mengidentifikasi data kependudukan warganya. Harga satu keping blangko KTP elektronik berdasarkan standar satuan harga pada e-katalog yang berlaku di Indonesia saat ini sebesar Rp10.500. Tahun 2011-2012, pengadaan blangko KTP elektronik berbasis chip menelan anggaran negara Rp5,9 triliun.

Sebenarnya, identitas kependudukan digital bukan hal baru bagi berbagai negara maju dan berkembang di dunia. Misalnya, Singapura, yang sejak tahun 2020 mengintegrasikan teknologi verifikasi wajah ke dalam KTP digital warganya.

Memasuki pertengahan tahun 2022, Pemerintah Indonesia kembali berupaya mengubah sistem identifikasi data kependudukan dari bentuk fisik menjadi digital yang dapat diakses melalui aplikasi Play Store pada ponsel cerdas tertentu. Kementerian Dalam Negeri meluncurkan sistem identitas kependudukan digital, dan menguji penggunaan aplikasi tersebut di kalangan internal instansi tersebut hingga ke daerah.

Perubahan dari sistem manual ke digital atau dari berbentuk fisik menjadi digital tersebut mulai disosialisasikan kepada masyarakat menjelang akhir tahun 2022. Aplikasi identitas kependudukan digital dilengkapi QR Code. Kode tersebut hanya diketahui oleh petugas dinas kependudukan sehingga pemohon identitas kependudukan digital tetap harus berkoordinasi dengan petugas untuk mendapatkan akses masuk ke aplikasi itu.

Aplikasi identitas kependudukan digital tidak hanya memuat KTP digital, tapi juga kartu keluarga, BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, sertifikasi vaksin dari Kemenkes, nomor induk wajib pajak, Kartu Indonesia Sehat, bahkan memuat lokasi tempat pemungutan suara pada Pemilu 2019.

Bagaimana cara melakukan registrasi akun di aplikasi identitas kependudukan digital? Pertama, warga harus datang ke dinas kependudukan terdekat untuk mendapatkan nomor pin. Kedua, warga harus memiliki ponsel pintar Android minimal versi 8.0. Ketiga, warga berada di wilayah yang memiliki koneksi internet.

Selain itu, warga juga harus menyiapkan akun surat elektronik untuk mengganti KTP elektronik menjadi digital. Kemudian warga melakukan registrasi akun di aplikasi identitas kependudukan digital dengan memasukkan nomor induk kependudukan (NIK), alamat surat elektronik, dan nomor ponsel yang aktif. Pemohon diminta untuk verifikasi wajah melalui aplikasi, dan melakukan verifikasi data melalui deteksi wajah.

Sistem pada aplikasi itu juga minta untuk verifikasi surat elektronik supaya bisa masuk ke aplikasi. Kemudian operator akan mengirimkan kode khusus melalui surat elektronik.

Bagaimana dengan warga yang tidak memiliki ponsel pintar Android minimal versi 8.0? Warga tetap dapat menggunakan KTP elektronik sebagai identitas resmi.



Simpel


Identitas kependudukan digital dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2022 tentang Standar dan Spesifikasi Perangkat Keras, Perangkat Lunak, dan Blangko Kartu Tanda Penduduk Elektronik, serta Penyelenggaraan Identitas Kependudukan Digital.

Kementerian Dalam Negeri mencatat hingga semester II tahun 2021, warga yang wajib memiliki KTP elektronik mencapai 198.628.692 jiwa. Sebanyak 99,21 persen warga Indonesia yang wajib memiliki KTP elektronik tersebut sudah melakukan perekaman. Perekaman KTP elektronik ini berlangsung sejak tahun 2011 sampai sekarang.

Berbagai kendala ditemukan di daerah dalam pembuatan KTP elektronik, seperti internet tidak memadai, blangko habis, kepala dinas kependudukan belum definitif, hingga mesin perekaman rusak.

Di provinsi kepulauan, seperti Kepulauan Riau (Kepri), warga yang tinggal di pulau-pulau jauh dari kantor kecamatan dan dinas kependudukan, harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan KTP elektronik. Mereka harus menggunakan perahu atau pompong, yang menelan biaya dan memakan waktu cukup lama untuk sampai ke kantor camat atau dinas kependudukan untuk melakukan perekaman KTP elektronik.

Belum lagi soal KTP ganda, yang sampai sekarang masih ditemukan, seperti satu orang memiliki dua domisili yang berbeda, memiliki NIK yang berbeda pada kartu keluarga dan memiliki dua KTP dalam NIK dan data yang sama.

Identitas kependudukan digital merupakan langkah yang tepat untuk mempermudah warga mendapatkan haknya.

Satu identitas kependudukan digital dapat dipergunakan untuk banyak hal, misalnya, untuk memenuhi persyaratan mendapatkan pelayanan kesehatan melalui BPJS atau saat lapor ke petugas tiket maskapai penerbangan tidak perlu lagi menunjukkan KTP elektronik.

Di dompet atau tas, pemilik identitas kependudukan digital tidak perlu lagi membawa beragam kartu, seperti KTP elektronik, kartu BPJS Kesehatan, kartu keluarga, dan NPWP. Semua itu tersimpan di dalam aplikasi identitas kependudukan digital.

Penggunaan identitas kependudukan digital itu paling tidak menjawab tiga pertanyaan yang mendasar, yang selama ini kerap muncul ke permukaan. Pertama, identitas kependudukan digital memangkas birokrasi pelayanan. Kedua, kebijakan tersebut menghemat anggaran negara yang cukup besar. Dan terakhir, data kependudukan digital lebih mudah diakses oleh pemiliknya untuk mendapatkan pelayanan dari pemerintah maupun pihak swasta.

Meski demikian, dua pernyataan lainnya juga muncul. Pertama, apakah identitas pribadi masyarakat aman? Pertanyaan itu berhubungan dengan berbagai kasus kebocoran data pribadi yang terjadi dalam 1 dekade terakhir, yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.

Kedua, bagaimana menyelamatkan data pribadi yang terekam dalam aplikasi identitas kependudukan digital?

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kependudukan, dan Pencatatan Sipil Kepri Misni memastikan seluruh data kependudukan masyarakat, aman.

Orang lain tidak akan dapat masuk ke akun pribadi seseorang pada aplikasi itu karena harus mengisi pin. Pin hanya diketahui oleh pemiliknya, tidak boleh diketahui oleh orang lain.

Pertanyaan selanjutnya, apakah identitas kependudukan digital dapat dipergunakan untuk mendapatkan pelayanan dari lembaga atau badan.

Saat ini, seluruh petugas dari dinas kependudukan di Indonesia menyosialisasikan penggunaan aplikasi identitas kependudukan digital tidak hanya kepada masyarakat, tapi juga badan publik pemerintah dan pihak swasta.

Jika memang terbukti aman, mudah, dan valid, masyarakat tentu lebih mudah menerima kartu identitas digital.

 


Editor: Achmad Zaenal M



 

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2022