Jakarta (ANTARA News) - Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyarankan, pemerintah meminta maaf kepada buruh, karena menuding aksi unju rasa mereka dalam menolak revisi Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ditunggangi kelompok yang masih tak ikhlas dengan hasil Pemilihan Umum 2004. "Persoalannya bukan di situ. Buruh menyuarakan aspirasi mereka itu biasa saja. Biar saja. Sekarang minta maaf pada buruh, selesai. Kalau tidak mau, ya, sudah," kata Gus Dur kepada wartawan di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Jumat. Menurut Gus Dur, persoalan rencana revisi UU Ketenagakerjaan sebenarnya dapat dibicarakan secara baik-baik tanpa perlu ngotot-ngototan. Ia secara pribadi menilai wajar buruh menolak revisi UU yang ujung-ujungnya merugikan mereka, seperti masalah tenaga kontrak dan pesangon. Oleh karena itu, menurut dia, jika dibanding negara-negara lain, maka kesejahteraan buruh di Indonesia masih rendah. Dikatakannya, di negara lain komponen upah buruh 20 persen dari ongkos produksi, sedangkan di Indonesia komponen produksi ditambah pesangon hanya 12 persen. "Selama ini korupsi merajalela, sehingga uang tersisa untuk buruh, seperti untuk pesangon atau kompensasi, tidak cukup. Jadi, tugas kita menyakinkan buruh bahwa sebenarnya perlu diadakan perubahan. Bicara begitu kok dinilai politis. Salah," katanya. Ketika ditanya pers tentang adanya pihak yang menunggangi aksi buruh seperti yang ditudingkan pemerintah, Gus Dur menyatakan, tidak tahu-menahu dan tidak akan menuding siapa-siapa. Dirinya sendiri, kata Gus Dur, dicurangi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga tidak bisa maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2004 juga tidak ribut. Dimintai komentar pers, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus membuktikan pernyataannya mengenai pihak yang menunggangi aksi buruh, Gus Dur menyatakan, hal itu bukan urusannya. "Itu urusan dia, bukan urusan saya. Mari kita belajar jangan sok suci, yang salah bukan hanya orang lain," ujarnya menegaskan. Menurut Gus Dur, saat ini masalah revisi UU Ketenagakerjaan sudah menjadi isu politik, karena itu diperlukan sikap bijaksana untuk menghadapinya. Ia juga mengkritik pernyataan Ketua DPR, Agung Laksono, yang menyebut pernyataan Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dan Zaenal Maarif, termasuk surat pernyataan berkop DPR, sebagai pernyataan pribadi, bukan mewakili DPR. "Tidak mungkin Zaenal Maarif mengambil kop tanpa diketahui dia. Kalau betul begitu, bisa mengambil kop seenaknya, maka berarti administrasi kacau. Dia lagi yang salah, tak bisa menjaga administrasi," demikian Gus Dur sambil tertawa. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006