Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah berencana menaikkan modal Perusahaan Penjaminan Pinjaman (PPP) menjadi minimal Rp100 miliar untuk tingkat nasional dari sebelumnya sebesar Rp10 miliar, sementara pembentukan lembaga penjamin ulang (reguarantee) akan dimotori pemerintah dengan modal minimal Rp3 triliun. Usulan pemerintah tersebut tercantum dalam Draft RUU Penjaminan Pinjaman Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang diperoleh di Jakarta akhir pekan ini. Draft yang disusun Kementerian Koperasi dan UKM saat ini sedang dipelajari oleh pihak Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (BI). Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kemenkop dan UKM Choirul Djamhari mengatakan, pihaknya berupaya agar draft tersebut bisa secepatnya diselesaikan dan segera diajukan ke DPR meski diakuinya DPR tidak menjadwalkan pembahasan RUU tersebut pada tahun ini namun tahun 2007. "Kita berupaya ini bisa dibahas DPR tahun ini meski RUU ini tidak masuk dalam Prolegnas 2006. Yang jelas kita terbuka untuk ada perubahan atau penambahan dari draf itu," katanya. Dalam draft tersebut, pemerintah membagi besaran modal PPP berdasar wilayah operasinya. Modal PPP yang beroperasi secara nasional minimal sebesar Rp100 miliar, sementara untuk wilayah provinsi Rp50 miliar, dan Rp10 miliar untuk wilayah kabupaten atau kota. Sementara untuk modal lembaga penjamin ulang, disebutkan minimal sebesar Rp3 triliun yang semuanya harus disediakan pemerintah. Lembaga Penjaminan Ulang ini nantinya akan berbentuk sebagai Badan Layanan Umum Penjaminan Ulang. BLPU ini juga bisa memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain. Menurut Choirul, draft RUU tersebut juga memberi kesempatan kepada PPP untuk mempunyai bidang usaha di luar penjaminan. Langkah ini, katanya, dilakukan mengingat pengalaman di berbagai negara yang juga mempunyai PPP dan ternyata lembaga tersebut sulit untuk memperoleh keuntungan. "Ada yang perlu diantisipasi yaitu bagaimana lembaga ini bisa `self financing` dan tidak rugi. Caranya adalah bagaimana ia bisa punya usaha lainnya yang mendukung," katanya. RUU tersebut menyebutkan bidang usaha Perusahaan Penjaminan selain penjaminan pinjaman adalah penjaminan sewa guna usaha, anjak piutang dan resi gudang; penjaminan atas pembelian barang dan penerbitan "surety bond". Sementara bidang usaha lainnya adalah usaha pembiayaan jangka pendek (maksimum 12 bulan), penjaminan ulang dan bantuan konsultasi manajemen. Diakuinya dari pengalaman di negara lain terungkap bahwa biaya transaksi untuk memperoleh penjaminan ini cukup tinggi karena umumnya proses verifikasi dilakukan baik oleh kreditur (bank) dan perusahaan penjaminan. Sementara soal Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR), Choirul mengatakan, diharapkan dengan keluarnya UU Penjaminan Pinjaman ini maka masalah tersebut dapat diatasi. Selama ini BI tidak memasukan faktor penjaminan ini dalam penilaian kesehatan suatu bank. "Pihak BI baru akan mengakui jika sudah ada UU-nya," kata Choirul. Saat ini ada kekosongan payung hukum perusahaan penjaminan kredit setelah Menteri Keuangan mencabut izin pembentukan Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) yang tertuang dalam SK Menkeu No 479/KMK.06/2003 tentang Penghentian Pemberian Izin Perusahaan Penjaminan pada 23 Oktober 2003.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006