Jakarta (ANTARA News) - Guna memberikan pelayanan terbaik, pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan tetap harus bertemu dengan para Wajib Pajak meskipun sistem pelayanan pajak online untuk mencegah praktik korupsi sudah diterapkan.

Pernyataan itu disampaikan peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, terkait pelayanan pajak dalam peringatan HUT Indonesia ke-67.

"Sebenarnya (pegawai pajak) yang tertangkap itu adalah oknum. Kita tidak bisa menyamaratakan," kata Aviliani yang ditemui beberapa waktu lalu.

Aviliani menambahkan, "Sekarang ini justru (dampak) bahaya kasus ini adalah para Wajib Pajak yang benar malah sulit untuk bertemu aparat pajak."

Saat ini, pegawai Ditjen Pajak cenderung tidak berani bertemu Wajib Pajak karena berisiko, padahal Wajib Pajak juga menghadapi berbagai permasalahan pajak dan membutuhkan konsultasi.

"Sekarang, banyak (Wajib Pajak) yang mengeluh ke saya, 'Bagaimana ini bu, kami ini mau menyelesaikan (pajak) secara baik, tapi tidak ada yang mau bertemu kami?'" kata Aviliani.

Doktor Manajemen Bisnis dari Institut Pertanian Bogor itu juga menyarankan agar Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Fuad Rahmany perlu untuk mendukung pegawainya agar berani bertemu Wajib Pajak terutama untuk menyamakan persepsi dari berbagai aturan perpajakan.

Penerimaan pajak tahun 2013

Terkait target penerimaan pajak 2013 sebesar Rp 1.178,9 triliun atau 80 persen dari penerimaan RAPBN 2013, Aviliani mengatakan Ditjen Pajak harus menggenjot penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) perorangan atau PPh pasal 21.

"Menurut saya, (perolehan) PPh pasal 21 masih terlalu kecil karena kelas menengah kita meningkat," kata Sekretaris Komite Ekonomi Nasional itu.

Wajib pajak perorangan di Indonesia sebesar 8,5 juta orang dan jika ditambah Wajib Pajak badan menjadi 25 juta itu dinilai Aviliani masih terlalu kecil.

"(Jumlah) kelas menengah di Indonesia sendiri sudah hampir 80 juta orang," katanya mengacu proses Sensus Pajak Nasional 2012 yang sedang berjalan hingga 31 Oktober.

Aviliani mengatakan, intensifikasi perolehan pajak penghasilan perorangan itu bertujuan menjaring Wajib Pajak baru dengan wujud penambahan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Penjaringan Wajib Pajak baru dari peningkatan jumlah kelas menengah itu juga untuk mengimbangi penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sektor komoditas dan PPh Badan sebagai dampak penurunan ekonomi global.

"Harga-harga komoditas kan turun yang berarti PPN dari komoditas itu juga turun. Selain itu profit perusahaan juga turun (akibat penurunan harga komoditas), pasti (penerimaan) PPh badan juga turun," kata Aviliani.

Rencana Kementerian Keuangan untuk menaikkan batas pendatapan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp2 juta per bulan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen, dinilai Aviliani dapat mengurangi potensi penerimaan pajak penghasilan.

Komisaris Independen PT Bank Rakyat Indonesia itu menambahkan potensi penerimaan pajak penghasilan dari pelaku usaha sektor informal perkotaan seperti pada pusat perbelanjaan Tanah Abang dan Mangga Dua Jakarta masih tinggi.

"Secara umum (pelayanan pajak Ditjen Pajak) sudah lebih baik. Dari sisi reformasi sudah baik walaupun masih ada oknum. Tapi (oknum) sudah berkurang," kata Aviliani

Narasumber: Aviliani, Pengamat Ekonomi Nasional dan Peneliti Senior pada Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Copywriter
COPYRIGHT © ANTARA 2012