Jakarta, 9 Mei 2006 (ANTARA) - Guna mendukung program pelestarian hutan dengan cara tidak menggunakan kayu yang berasal dari hutan alam sebagai bahan baku industri kayu, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan telah melakukan beberapa upaya di antaranya revitalisasi industri kehutanan. Program revitalisasi industri kehutanan yang telah dilakukan di Provinsi Sumatera Selatan berupa: Perbaikan perizinan industri primer hasil hutan kayu (IPHHK) dari bahan baku kayu bulat yang berasal dari hutan alam menjadi bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman ataupun hutan rakyat; Mempermudah proses dan prosedur perizinan untuk industri yang menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari hutan tanaman; Pengetatan pemberian Izin Usaha-IPHHK. Saat ini pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin kepada industri primer untuk memanfaatkan kayu yang berasal dari hutan alam di Sumatera Selatan. Setelah dilakukan revitalisasi dan pengetatan perizinan, kini industri yang aktif di Sumatera Selatan tinggal 72 industri dengan kapasitas untuk kayu gergajian 487.100 m3, plywood 276.000 m3, MDF (medium density fiberboard) 220.000 m3, Veneer 12.000 m3, serta Pulp 2.250.000 m3 per tahun. Jumlah ini jauh menurun dari jumlah semula yang mencapai 234 industri kayu tahun 1990-an. Di samping itu, empat industri kayu telah menggunakan mesin rotary baru dengan diameter sisa log core mencapai 3-8 cm dengan kapasitas total 152.000 m3/tahun. Sesuai Peraturan Pemerintah No.34/2002, kapasitas izin industri primer hasil hutan tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari dan sumber bahan baku industri primer hasil hutan selain dari hutan alam, dapat pula berasal dari hutan alam, dapat pula berasal dari hutan tanaman, hutan hak dan hasil dari perkebunan berupa kayu. Untuk itu Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggalakkan penggunaan bahan baku kayu non hutan alam dan penggantian mesin rotary dengan diameter sisa log core kecil bagi industri perkayuan. Secara nasional, saat ini sebagian besar industri kehutanan masih bertumpu pada bahan baku kayu dari hutan alam, sedangkan kemampuan produksi kayu dari hutan alam menurun sehingga terjadi kesenjangan kemampuan pasokan bahan baku kayu dengan kebutuhan industri. Kayu bulat yang bukan berasal dari hutan alam pada umumnya berdiameter kecil sehingga tidak efisien jika diproses dengan mesin rotary lama yang pada umumnya hanya mampu mengolah/mengupas sampai sisa log core berdiameter 20-25 cm. Namun dengan mesin rotary yang menggunakan teknologi baru, kayu bulat dengan diameter kecil mampu diolah hingga sisa log core berdiameter 3-8 cm, tergantung jenis kayu dan mesin yang digunakan. Dengan demikian, sejalan dengan upaya revitalisasi industri kehutanan maka industri primer hasil hutan kayu ke depan diarahkan untuk dapat memanfaatkan kayu bulat non hutan alam sebagai bahan baku andalan. Revitalisasi industri kehutanan juga diarahkan untuk menggunakan mesin rotary berteknologi baru sehingga lebih efisien dalam penggunaan bahan baku, hemat energi serta ramah lingkungan. Program revitalisasi industri kehutanan diarahkan agar industri kehutanan bertumpu pada bahan baku andalan dari kayu hutan tanaman, termasuk memanfaatkan bahan baku dari hutan tanaman rakyat dan kayu perkebunan berupa kayu hasil tebangan dalam rangka peremajaan perkebunan karet, sawit, dan lain-lain. Sedangkan bahan baku kayu dari hutan alam dimanfaatkan untuk produk khusus yang bernilai tinggi. Diharapkan pula semua industri perkayuan melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat atau perkebunan rakyat dalam pemenuhan pasokan bahan baku. Lima tahun terakhir ini terdapat beberapa industri yang mulai memanfaatkan kayu HTI, hutan rakyat dan kayu tebangan perkebunan sebagai bahan baku industri primer hasil hutan kayu. Di samping itu, beberapa perusahaan juga telah melakukan kerjasama kemitraan dengan masyarakat sekitar dengan memberikan bantuan bibit untuk penanaman hutan rakyat sebagai pasokan bahan baku industri untuk waktu mendatang. Terdapat beberapa pola yang digunakan perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat. Pola yang digunakan tergantung kebutuhan dan keinginan masyarakat. Ada masyarakat yang menginginkan diberi kompensasi berupa bibit, pupuk dan sejumlah uang. Kelompok masyarakat lainnya hanya membutuhkan bibit dan uang, atau pupuk dan uang. Ada pula kelompok yang hanya membutuhkan uang saja, karena bibit dan pupuk sudah dimiliki oleh mereka. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Ir. Masyhud, MM, Kepala Bidang Analisis dan Penyajian Informasi, Pusat Informasi Departemen Kehutanan, Telp: (021) 5705099, Fax: (021) 5738732 (T.AD001/B/W001/W001) 09-05-2006 15:55:40

COPYRIGHT © ANTARA 2006