Jakarta (ANTARA) - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyatakan penanganan berbagai masalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang non-prosedural selalu dituntaskan dengan melibatkan berbagai pihak secara lintas sektor.

“Dalam konteks pendaftaran itu pemerintah sudah mendirikan yang namanya Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA). Itu sebenarnya untuk mempermudah seorang calon PMI mengurus dokumennya,” kata Direktur Bina Riksa Ketenagakerjaan Kemenaker Yuli Adiratna dalam Nawa Podcast PMI yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan PMI non-prosedural adalah pekerja yang mengikuti penempatan, namun tidak mengikuti proses perekrutan yang sebenarnya. Misalnya, mereka tidak memiliki dokumen persyaratan penempatan PMI yang lengkap sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yakni dalam pasal 5 dan 13.

Pekerja yang termasuk non-prosedural lainnya adalah tidak memenuhi batas minimum usia untuk bekerja ataupun tidak terdaftar dalam sistem jaminan sosial.

“Kalau mereka tidak terdaftar dapat dipastikan mereka adalah non-prosedural. Mereka harus memiliki sertifikat, kompetensi, dan terdaftar di dinas yang membidangi ketenagakerjaan di kabupaten/kota,” katanya.

Ia  menyatakan karena banyak ditemukan pekerja non-prosedural, maka pemerintah sudah mendirikan LTSA untuk mempermudah seorang Calon PMI dalam mengurus semua dokumennya sebelum penempatan.

LTSA, kata dia, bekerja dengan melibatkan lintas sektoral lainnya seperti Kemenaker sendiri, pihak dari Imigrasi, Dukcapil, BP2MI hingga pihak Jaminan Sosial yang juga didekatkan dengan akses perbankan, supaya semua syarat yang ditentukan dapat terurus dengan sempurna.

Keterlibatan lintas sektoral itu dapat mempermudah pengawasan pada pekerja sebelum bekerja, dan memastikan PMI terdaftar di Disnaker yang ada di kabupaten/kota.

Selain itu, Kemenaker juga mensosialisasikan secara masif adanya pengawasan yang terorganisasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan, Binapenta yang sudah terorganisasi.

Menurutnya, ketika pekerja non-prosedural tidak mendatangi LTSA, hal yang dilakukan adalah adanya pemeriksaan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan menemui pekerja yang menjadi korban.

Dalam memberikan penanganan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan. Jika pelaku yang menipu pekerja non-prosedural adalah koorporasi maka akan ada penyelidikan lebih lanjut bersama kepolisian dan sanksi administrasi yang akan dikenakan mulai dari teguran tertulis, skorsing atau pemberhentian sementara untuk sebagian atau seluruhnya.

“Ada juga pencabutan izin itu domainnya ada di Binapenta, karena Binapenta yang akan mengelola tentang izin P3MI,” katanya.

Sebaliknya, jika pelaku bersifat perorangan akan diadakan pula penyelidikan, pengusutan tindak pidana yang bisa dilakukan oleh PPNS Ketenagakerjaan ataupun kepolisian.

“Termasuk kami juga sudah memperkuat pengawasan ketenagakerjaan untuk memahami proses penempatan PMI keluar negeri. bahkan kita kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional seperti ILO,” demikian Yuli Adiratna.

Baca juga: Kemenaker: Perlu kolaborasi tiadakan penempatan PMI non-prosedural

Baca juga: Kemnaker gagalkan penempatan 38 PMI nonprosedural ke Timur Tengah

Baca juga: Pemerintah gagalkan keberangkatan PMI nonprosedural ke Kamboja

Baca juga: Derita pekerja migran Indonesia nonprosedural di negeri orang


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
COPYRIGHT © ANTARA 2023