Makassar (ANTARA News) - Penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dari 12,75 persen menjadi 12,50 persen tidak akan mempengaruhi secara signifikan penurunan suku bunga kredit perbankan, sehingga diharapkan penurunan masih terus berlanjut hingga mencapai angka satu digit. "Kami menginginkan BI rate itu satu digit, misalnya sembilan persen, agar bunga kredit bisa turun secara signifikan dengan selisih tiga sampai empat persen lebih besar dari BI rate," kata Yusran Paris, pengusaha real estate Makassar yang juga Koordinator REI se Sulawesi kepada ANTARA News di Makassar, Selasa malam. Menurut dia, penurunan suku bunga BI sebesar 25 basis point itu kecil kemungkinan akan membuat suku bunga kredit perbankan turun, dan kalau pun turun, besarnya juga tidak akan berarti. Dengan BI rate 12,75 persen selama ini, kredit perbankan masih mencapai 17 sampai 19 persen, dan itu masih terlalu berat untuk mendorong sektor riil untuk segera bangkit. "Karena itu, kalau BI rate bisa ditekan sampai sembilan persen dan kredit perbankan bisa turun menjadi 13 sampai 15 persen, maka sektor riil akan segera bergairah kembali," kata pemilik PT. Duta Permai Grup yang bergerak di sektor properti itu. Sementara itu, pengamat ekonomi keuangan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, DR. Marzuki, DEA mengatakan, meski besaran penurunan BI rate itu belum signifikan, kebijakan baru ini perlu disambut positif karena menunjukkan BI telah bisa membaca keinginan sektor riil dan menyadari bahwa bank-bank sekarang cukup terbebani dengan kelebihan likuiditas yang mereka miliki. Menurut dia, BI rate akan lebih signifikan bila selisihnya dengan suku bunga Bank Sentral AS (The FED) hanya sekitar lima sampai enam persen. Artinya, dengan suku bunga The FED saat ini sekitar 4,75 persen, maka BI rate yang ideal itu sekitar 9,75 persen sampai 10,75 persen, ujarnya. "Indonesia ini adalah negara yang paling besar spread (selisih) suku bunga bank sentralnya di dunia bila dibandingkan dengan suku bunga The FED," tambahnya. Ia menambahkan, penurunan 25 basis point itu juga akan menjadi lebih tidak berarti bila tidak diikuti dengan efisiensi perbankan dalam menjalankan operasionalnya. Misalnya dengan menghentikan pemberian hadiah-hadiah besar dan mahal kepada nasabah untuk menambah dana masyarakat yang masuk, karena pemborosan seperti itu akan ikut mengekang penurunan suku bunga kredit, apalagi kebijaksanaan "prudential banking" masih cukup ketat dewasa ini.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006