Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Republik Indonesia Gita Wirjawan setelah bertemu mitranya dari Vietnam, Vu Huy Hoang, menyatakan optimistis bahwa perdagangan antara kedua negara akan tumbuh positif di masa mendatang.

Gita berbincang dengan Menteri Industri dan Perdagangan Vietnam, Vu Huy Hoang, di Jakarta Selasa dalam pertemuan Joint Commission on Economic, Scientific and Technical Cooperation (JC-ESTC) ke-6 antara Indonesia-Vietnam.

Pada pertemuan ke-6 ini, kedua negara membahas antara lain mengenai upaya penyelesaian hambatan-hambatan arus perdagangan di antara kedua negara, termasuk trade remedies (antidumping dan safeguards) serta perkembangan kerja sama di 13 sektor antara lain investasi, ESDM, pertanian, perikanan, tranportasi, parawisata, industri, dan konstruksi.

Kedua Menteri juga secara khusus menyoroti tentang pentingnya kerja sama dalam pemenuhan energi kedua negara. Keduanya berkomitmen untuk mendorong agar perusahaan minyak dan gas kedua negara, yaitu Pertamina dan Petrovietnam, dapat secara aktif bekerja sama dengan Petronas Malaysia di bawah payung kerja sama Tripartite Agreement on Oil and Gas yang ditandatangani pada bulan November 2007 lalu, agar dapat menjadi model untuk dikembangkan di ASEAN.

Dalam pertemuan ini, Menteri Vu Huy Hoang secara khusus meminta Indonesia untuk tetap menyuplai Vietnam dengan energy-coal untuk menjamin pasokan bahan bakar pembangkit listrik di negara itu. Sebaliknya, Indonesia meminta Vietnam untuk menyuplai Indonesia dengan anthracite coal.

Sementara pada bidang parawisata, kedua Menteri sepakat untuk terus mengembangkan sektor parawisata di kedua negara. Menteri Industri dan Perdagangan Vietnam secara khusus menyampaikan keinginannya agar Indonesia dapat membantu Vietnam membangun sektor parawisatanya dengan menyediakan tenaga ahli bidang industri pariwisata di Bali.

Kerja sama bidang pertanian dan perikanan juga merupakan sektor yang menjadi perhatian khusus kedua Menteri.

Pertemuan yang dilakukan di auditorium Kementerian Perdagangan ini telah berlangsung sejak 17 September 2012, diawali dengan pertemuan tingkat Pejabat Senior dimana Indonesia diwakili oleh Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Iman Pambagyo.

Pertemuan ini merupakan pertemuan lanjutan dari pertemuan JC-ESTC ke-5 yang dilaksanakan pada bulan April 2009 di Vietnam.

Di akhir pertemuan, kedua Menteri melakukan penandatanganan perpanjangan Nota Kesepahaman tentang Perdagangan Beras antara kedua negara yang intinya adalah adanya komitmen Pemerintah Vietnam untuk memperpanjang masa penyediaan beras kepada Indonesia dari 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2017.

Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu Indonesia memerlukan beras dalam rangka memenuhi cadangan beras nasional dengan mempertimbangkan kondisi pasokan, kebutuhan, produksi di kedua negara dan tingkat harga beras internasional.

"Dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman ini diharapkan dapat mendukung program ketahanan pangan nasional. Sebagaimana diketahui penandatanganan Nota Kesepahaman seperti ini telah kita lakukan dengan beberapa negara produsen beras di ASEAN antara lain dengan Kamboja dan Thailand, yang dimaksudkan untuk menyediakan alternatif cadangan beras bagi Indonesia dikala Indonesia memerlukannya," jelas Mendag Gita.

Lebih lanjut, Mendag Gita mengatakan penandatanganan Nota Kesepahaman dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pasokan beras dari satu negara. Dengan demikian, apabila Indonesia terpaksa harus melakukan impor beras, dapat mengimpor dari negara yang memberikan penawaran harga yang lebih murah dengan kualitas yang cukup baik.

Tentunya instrumen impor merupakan opsi terakhir yang dilakukan untuk menjaga stabilitas harga di dalam negeri agar masyarakat berpenghasilan rendah dapat memenuhi kebutuhan beras dengan harga yang tetap bisa terjangkau tanpa merugikan petani Indonesia.

Pertumbuhan total perdagangan kedua negara tercatat tumbuh positif dengan tren sebesar 18% selama periode 2007-2011 dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir yakni dari USD 2,11 miliar pada 2009 menjadi USD 4,7 miliar tahun 2011.

(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2012