Jakarta (ANTARA) - Setelah 77 tahun merdeka, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dalam hal ketahanan pangan dan kemiskinan. Indeks ketahanan pangan Indonesia, menurut Global Food Security Indeks (GFSI), mengalami peningkatan peringkat dari 69 (2021) menjadi 63 (2022).

Pemerintah Indonesia baru saja mendapat penghargaan dari Internasional Rice Research Institute (IRRI), berkat capaian swasembada karena tidak impor beras pada 2019-2021.

Namun, pemerintah baru saja memutuskan dan menugaskan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengimpor beras sejumlah 500.000 ton untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP).

Beras impor itu kini sudah mulai tiba secara bertahap. Secara kuantitas, jumlah impor tersebut hanya 1,6 persen dari kebutuhan beras Indonesia yang mencapai 30,2 juta ton.

Impor tersebut hanya semata untuk cadangan beras pemerintah. Di sisi lain, dinamika global ketegangan antarnegara produsen pangan serealia dan pupuk terbesar di luar negeri, yaitu Rusia dan Ukraina, menyebabkan dampak fenomena kontraksi pangan yang mengancam dunia, termasuk Indonesia.

Belum lagi ancaman perubahan iklim, bencana alam, dan residu pandemi COVID-19 turut mengganggu ketersediaan dan distribusi pangan dunia, termasuk di Indonesia.

Situasi internal dan eksternal itu berpotensi berdampak terhadap kinerja sektor ekonomi, termasuk potensi krisis pangan dunia.

Dalam kondisi sulit tersebut Indonesia tetap optimistis untuk memperkecil dan keluar dari dampak kontraksi ekonomi dan pangan.

Bagaimana kondisi objektif pangan Indonesia saat ini serta bagaimana bangsa ini mampu keluar dari kondisi kesulitan?

Indonesia merupakan negara tropis yang secara sudut pandang klimatologi, agronomi pertanian, bagaikan pedang bermata dua. Posisi negara tropis berdampak positif di satu sisi dan berdampak negatif di sisi lainnya.

Daerah tropis beruntung karena dapat memanen energi matahari untuk fotosintesis tanaman sepanjang tahun. Pasokan air juga relatif tersedia sepanjang tahun.

Namun, daerah tropis juga memiliki karakter yang kurang menguntungkan karena curah hujan yang tinggi membuat pencucian unsur hara dari lahan pertanian sangat cepat, erosi tinggi, sehingga degradasi lahan yang dibuka untuk lahan pertanian terjadi sangat cepat. Demikian pula laju demineralisasi bahan organik tanah berlangsung cepat.

Daerah tropis juga lingkungan yang favorable bagi berkembangnya hama dan penyakit pertanian karena siklus hama dan penyakit berlangsung sepanjang tahun tanpa terpotong oleh musim dingin, seperti di negara subtropis.

Produksi pangan Indonesia, seperti beras, sebetulnya sudah cukup membanggakan. Menurut rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada November 2022, luas panen padi pada 2022 diperkirakan sebesar 10,55 juta ha dengan produksi sekitar 55,44 juta ton GKG.

Jika dikonversikan menjadi beras, maka produksi beras pada 2022 diperkirakan sebesar 31,94 juta ton. Nilai itu meningkat sebanyak 1,34 persen dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton.

Capaian rata-rata nasional tingkat produktivitas padi 5,25 ton GKG/hektare tersebut belum menggambarkan capaian potensi genetik produktivitas padi hasil penelitian yang mampu mencapai hingga lebih 11 ton GKG/ha.

Laju peningkatan produktivitas padi yang hanya 0,5-0,9 persen dan laju peningkatan produksi padi nasional yang relatif stagnan kalah dibandingkan laju peningkatan jumlah penduduk dari 2015-2022, yaitu 1,17-1,38 persen.

Peningkatan produksi padi nasional adalah penting dan prioritas, karena petani Indonesia harus memberi makan 275 juta penduduk.

Populasi Indonesia berada di posisi ke-4 dunia setelah China, India, dan Amerika. Bandingkan dengan populasi Vietnam yang hanya 98,18 juta penduduk dan Thailand yang hanya 70,2 juta. Petani Indonesia harus memberi makan penduduk 3-4 kali lipat dari petani Vietnam dan Thailand.

Angka-angka tersebut membuat bangsa ini harus bekerja keras. Beras merupakan produk pangan yang ketersediaannya tergantung musim dan tersebar di wilayah sentra.

Ada suatu waktu beras melimpah di saat panen raya, tetapi di suatu waktu beras minim karena sedang musim tanam dan bera. Ada suatu daerah yang surplus dan ada suatu daerah yang defisit.

Akses penduduk di sebuah daerah terhadap beras berbeda-beda, tergantung waktu dan lokasi geografisnya.

Angka Kemiskinan 2022 sudah menunjukkan penurunan menjadi 9,54 persen (26,16 juta), sebagian besar di perdesaan (12,29 persen) yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Ekonomi Indonesia pada Q3-2022 tumbuh 5,72 persen dengan sektor pertanian tumbuh 1,65 persen, sehingga harapan menjadikan sektor pertanian sebagai penyangga atau bantalan ekonomi masih memerlukan kerja keras.

Masyarakat yang tergolong miskin banyak tinggal di daerah perdesaan, dengan akses atau transportasi yang belum sepenuhnya baik.

Hal ini menyebabkan masalah kesulitan dalam distribusi sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian, dan membuat biaya tinggi dalam menghasilkan produk dan nilai produk hingga sampai di tangan konsumen.


Kanal agronomik

Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) kemudian dituntut agar lebih meningkatkan peran dalam membantu pemerintah mencari jalan keluar bagi bangsa Indonesia dari persoalan ini dari perspektif ilmu agronomi. Inilah yang disebut sebagai kanal agronomik.

Indonesia harus meningkatkan laju produksi padinya dan sekaligus keluar dari ketergantungan pada beras sebagai pangan utama.

Pangan lokal bergizi tinggi harus didorong lebih cepat, jangan lagi menjadi pangan alternatif, tetapi statusnya harus menjadi pangan utama komplementer yang spesifik lokasi pada level provinsi dan kabupaten.

Pengembangan pangan sumber daya lokal sebagai sumber karbohidrat diharapkan juga berperan menekan impor gandum yang sekarang ini menjadi pangan nomor dua setelah beras.

Fakta yang disebutkan tersebut menunjukkan bahwa perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 dapat terganggu oleh turbulensi pangan dan kemiskinan.

Peluang kompetitif bonus demografi juga akan sulit dimanfaatkan ketika Indonesia belum menemukan terapi yang efektif untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan mengurangi tingkat kemiskinan.

Peningkatan laju penduduk dan peningkatan penduduk umur produktif (15-64 tahun) cukup besar dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka diperlukan pertambahan produksi pangan, pangan yang berkualitas (pangan fungsional), yaitu pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang.

Dari fenomena tersebut para ahli agronomi dituntut lebih berperan mencari solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi padi dan akselerasi pangan lokal menjadi pangan utama selain beras.

Dari perspektif agronomi, terdapat tiga strategi untuk meningkatkan produksi padi nasional, yaitu modifikasi agronomik-genetik, modifikasi agronomik-budidaya, dan modifikasi agronomik-sumber daya lahan. Semuanya mengarah ke sistem agronomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Modifikasi agronomik-genetik dilakukan dengan pemuliaan, seperti seleksi, penyilangan, rekayasa genetika melalui genome editing dan mutasi, bioreaktor, untuk menghasilkan dan introduksi benih unggul.

Dari waktu ke waktu, varietas unggul perlu terus di-improve dengan berbagai target, yakni peningkatan kuantitas-kualitas hasil, adaptasi lingkungan marjinal, resistensi hama-penyakit, efisiensi penggunaan sumber daya lahan-hara-air-tenaga kerja, serta kandungan nutrisi fungsional.

Sementara modifikasi agronomik-budi daya, contohnya pola dan rotasi tanaman, pengaturan musim tanam, cara pengolahan lahan, optimasi tata tanam, optimasi fungsi fisiologi fotosintesis-respirasi-akumulasi dan translokasi asimilat menjadi bahan panen untuk meningkatkan indeks panen, water foot-print, energy foot-print, dan sebagainya.

Terakhir, modifikasi agronomik-sumber daya lahan dapat kita lakukan dengan strategi land improvement dibarengi dengan konservasi berkelanjutan.

Beberapa teknologi yang dapat dikembangkan, antara lain perbaikan sifat fisik-kimia dan biologi tanah, serta pengembangan dan konservasi tanah dan air.

Dengan tiga modifikasi tersebut, capaian potensi genetik produktivitas tanaman padi dapat optimal dan efisien pada berbagai ragam agroekosistem (padi sawah irigasi, sawah tadah hujan, padi gogo, padi pasang surut, dan padi di antara tanaman tahunan).

Meningkatnya produktivitas padi yang efisien pada berbagai ragam agroekosistem bukan hanya meningkatkan produksi padi nasional, tetapi juga mengembangkan padi fungsional agar dapat berdampak meningkatkan kesejahteraan petani, termasuk yang berlahan sempit.

Penting juga untuk menjadi perhatian bersama bahwa pengembangan teknologi agronomis memerlukan kerja sinergis lintasdisiplin.

Keunggulan kompetitif dan komparatif yang bernilai tambah dan menyejahterakan di masa kini dan ke depan haruslah juga dibarengi pendekatan pertanian secara presisi, antara lain mengoptimalkan mekanisasi dan digitalisasi, dilengkapi dengan pembenahan sistem rantai pasok.

Dari uraian di atas, dapat dikristalkan bahwa penerapan ilmu agronomi yang tepat serta terintegrasi dan sinergi kiranya merupakan terapi efektif untuk keluar dari kontraksi pangan dan kemiskinan.

Semoga pemikiran ini menjadi inspirasi bagi semua warga pertanian untuk berjiwa optimistis, hadir dengan alternatif solusi, dan siap berkontribusi dengan pemikiran dan tindakan nyata, serta turut andil dalam kiprah membangun Indonesia.


*) Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, M.S.; Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia periode 2022-2026.

 

Pewarta: Prof. Dr. Ir. Andi Muhammad Syakir, M.S.*)
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2023