Jakarta (ANTARA News) - Gugatan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Jawa Tengah yang ditujukan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap diskriminatif dalam menangani perkara korupsi Komisi Pemilihan Umum (KPU), dinilai salah alamat. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hari Rabu, KPK yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wisnu Baroto, KMS A Roni dan Rudi Margono menyampaikan jawaban atas gugatan itu dan menyatakan bahwa seharusnya gugatan tersebut dialamatkan kepada penyidik KPK. "Gugatan yang ditujukan kepada pimpinan KPK adalah salah alamat sebab kewenangan seseorang untuk dapat dijadikan tersangka adalah kewenangan penyelidik," kata Wisnu Baroto. Penyelidik KPK, lanjut dia, secara fungsional berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan dari Pimpinan KPK secara langsung dan secara teknis melakukan penyelidikan untuk menentukan hasil penyelidikannya sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan aturan itu, Wisnu mengatakan, Pimpinan KPK hanya berwenang untuk memberikan Surat Perintah Penyelidikan kepada penyelidik, sehingga penyelidiklah yang sebenarnya lebih relevan sebagai pihak yang digugat, bukan kepada Pimpinan KPK. Selain itu, KPK berpendapat subyek hukum yang digugat oleh Penggugat tidak lengkap. Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Jawa Tengah yang diwakili oleh Koordinatornya, Boyamin, hanya menggugat Pimpinan KPK sebagai pihak tergugat dan Pemerintah RI sebagai pihak turut tergugat. Wisnu mengatakan, Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang dalam lingkup tugas dan wewenangnya termasuk dalam ruang lingkup hukum publik sebagai perpanjangan atau wakil pemerintahan negara di bidang penegakan hukum. "Konsekuensi yuridisnya, karena KPK merupakan pepanjangan tangan Pemerintah, maka gugatan perdata yang diajukan oleh penggugat terhadap KPK, seharusnya ditujukan lebih dulu kepada Pemerintah RI sebagai badan hukum publiknya, kemudian baru cq Pimpinan KPK," tutur Wisnu. KPK juga menganggap prematur gugatan dari pihak penggugat. Anggapan itu berdasarkan pasal 4 ayat 1 PP No 71 Tahun 2000 tetang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang, organisasi masyarakat atau LSM berhak memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau komisi atas informasi, saran atau pendapat yang disampaikan kepada penegak hukum. Ayat dua pasal yang sama mengatur bahwa penegak hukum atau komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi dan saran tersebut daam waktu paling lambat 30 hari sejak diterimanya saran, pendapat dan informasi. "Sesuai aturan itu, penggugat sebelum mengajukan perbuatan melawan hukum ini, seharusnya menanyakan terlebih dahulu atau menyampaikan pendapatnya kepada pihak KPK sebagai tergugat," kata Wisnu. Penggugat dalam pokok perkara gugatannya menyatakan KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menjadikan tersangka yang lainnya dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang terjadi di KPU. Dalam surat gugatannya, penggugat menyatakan KPK dalam melaksanakan proses penyidikan dan atau penuntutan tidak bersikap adil dan hanya tebang pilih karena ternyata KPK hanya menetapkan tersangka beberapa anggota KPU Pusat. Penggugat juga menyatakan dalam menangani perkara korupsi di KPU, KPK tidak menindaklanjuti dan mendalami fakta, keterangan saksi, tersangka atau terdakwa dan temuan lembaga auditor, baik yang mengemuka dalam persidangan maupun di luar persidangan sehingga beberapa anggota KPU Pusat yang mestinya layak dijadikan tersangka, naum sampai gugatan diajukan tidak juga dijadikan tersangka. Penggugat menyatakan perbuatan KPK tersebut bertentangan dengan pasal 5 huruf a bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berdasarkan pada kepastian hukum yang mengutamakan asas kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan. Peggugat mengajukan ganti rugi materil dan immateril atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPK dan menuntut KPK membayar ganti rugi sebesar Rp10.000 secara tunai dan seketika. KPK sebagai tergugat membantah semua dalil yang diajukan oleh penggugat karena dianggap tidak berdasarkan hukum atau hanya semata-mata berdasarkan asumsi yang berkembang di masyarakat dan hanya didasarkan pada opini publik. "Gugatan itu kabur. Kewenangan yang ada pada KPK harus tetap mengacu pada ketentuan hukum acara yag ada, sehingga kewenangan yang melekat pada KPK tidak serta merta dapat mejadikan beberapa anggota KPU menjadi tersangka. Ini tergantung dari alat bukti yang ada," jelas Wisnu. Penggugat yang diwakili oleh Boyamin, mendasarkan gugatannya atas beberapa anggota KPU serti Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin yang tidak ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi KPU. Padahal, menurut dia, telah ada keteranga anggota KPU Daan Dimara yang telah menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengadaan segel Pemilu Pilpres I dan II, bahwa Hamid yang menunjuk rekanan dan menentukan harga. Mengenai gugatan materil dan immateril yang hanya Rp10.000, Boyamin mengatakan nilai itu hanya untuk memenuhi hukum acara perdata. "Kerugian akibat tebang pilih yang dilakukan KPK tidak dapat dihitung jumlahnya. Rp10.000 itu hanya untuk memenuhi hukum acara perdata. Kalau bisa, sebenarnya kami tidak ingin menuntut ganti rugi, cukup gugatan agar KPK tidak tebang pilih," katanya. Ia menambahkan, sikap KPK yang tebang pilih dalam menangani pemberantasan korupsi dikhawatirkan akan menular kepada aparat penegak hukum di daerah. "Saya pernah bertanya kepada aparat penegak hukum di daerah, mengapa pilih-pilih dalam menetapkan tersangka kasus korupsi APBD. Dan dijawab enteng oleh aparat itu, `KPK saja pilih-pilih kok`," tutur Boyamin. Majelis hakim yang diketuai oleh Edy Cahyono memutuskan untuk menunda sidang hingga Rabu, 17 Mei 2006 untuk memberikan kesempatan kepada penggugat membacakan tanggapan atas jawaban tergugat.(*)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006