Jakarta (ANTARA News) - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan, agar ada terobosan hukum untuk membuat Undang-Undang (UU) yang menyatakan menghentikan perkara hukum bagi mantan Presiden HM Soeharto. "Namun, Pak Harto harus menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat atas kekhilafannya selama menjabat sebagai presiden," kata Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, di gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu, usai rapat pimpinan MPR. Rapat yang diikuti Wakil Ketua MPR, AM Fatwa, Ny. Moeryati Soedibjo dan Aksa Mahmud, itu membahas wacana pencabutan Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Nurwahid menyarankan, agar keluarga HM Soeharto juga berinisiatif untuk menyampaikan pernyataan permohonan maaf, selain itu pernyataan mengenai penyerahan pengelolaan yayasan-yayasan kepada negara. "Ada baiknya pihak Pak Harto membuat pernyataan untuk menyerahkan seluruh pengelolaan yayasan secara konkret kepada negara," katanya. Dia mengatakan, MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mencabut TAP MPR itu, sehingga diperlukan kemauan politik untuk melakukan terobosan hukum dan politik dengan memerhatikan etika dan moral. Terobosan hukum itu, katanya, dilakukan dengan melaksanakan TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yaitu membentuk UU yang menyatakan penghentian kasus hukum HM Soeharto. "Karena itu, perlu inisiatif dari DPR dan atau Presiden, karena yang memiliki kekuasaan membentuk UU adalah DPR bersama dengan pemerintah," kata Nurwahid. Selama UU itu tidak terbentuk, kata Nurwahid, pihaknya khawatir keinginan untuk menegakkan hukum dan pemberantasan KKN tidak akan terpenuhi dengan baik. "Karena itu, pemberian amnesti atau abolisi harus dilakukan setelah ada solusi terkait dengan TAP MPR itu," katanya. Meski ada UU, ia mengemukakan, tidak berarti kasus hukum di luar Soeharto tidak berlaku, dan dengan demikian pemberantasan KKN di seluruh bidang penyelenggaran negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, tetap berlaku. Selain mengusulkan adanya UU, Rapim MPR meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merehabilitasi nama baik para pahlawan dan tokoh-tokoh nasional yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. "Khususnya Bung Karno sebagai Proklamator dan Presiden pertama RI, MPR menyarankan Presiden untuk mengambil langkah merehabilitasi nama baiknya," kata Nurwahid. Rehabilitasi nama Soekarno dan Soeharto, kata Nurwahid, bisa dilakukan dalam satu paket, sehingga bisa menghadirkan kehidupan berbangsa yang lebih elegan. "Dengan catatan yang salah tetap harus meminta maaf, sebagai bentuk kebesaran jiwa. Termasuk yayasan-yayasan itu dikelola oleh negara sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat," demikian Hidayat Nurwahid. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006