Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Justito Adiprasetio mengatakan pemberitaan tentang regulasi konservasi perlu ditingkatkan oleh media lantaran jumlahnya saat ini masih sedikit.

"Berbeda dengan pemberitaan untuk isu-isu lain, politik dan seterusnya, regulasi dalam pemberitaan tentang konservasi, ini saya katakan jumlahnya masih sedikit sekali," ujarnya dalam kegiatan penguatan kapasitas jurnalis tentang pengarusutamaan risiko zoonosis melalui pendekatan One Health dan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi di KeKini Coworking Space, Jakarta, Selasa.

Sepanjang 1 November 2021 sampai 1 November 2022, Universitas Padjadjaran telah meneliti berita-berita media daring tentang konservasi dengan jumlah mencapai 1.737 berita.

Baca juga: Amel, wanita pertama di dunia bergelar doktor konservasi bekantan

Justito menuturkan total ada 127 berita atau di bawah 8 persen yang membahas regulasi dalam pemberitaan tentang konservasi.

Dari total 1.737 berita tersebut, sebanyak lima media dengan pemberitaan terbanyak adalah LKBN Antara mencapai 131 berita, Suara.com sebanyak 107 berita, Liputan 6 sebanyak 98 berita, Kompas sebanyak 86 berita, dan Tribun News sebanyak 83 berita.

Sedangkan terkait relevansi isu tercatat ada sebanyak 955 berita atau 55 persen bersifat mayor karena menyebutkan dan memiliki relevansi isu yang tinggi, ada 468 berita atau 27 persen bersifat minor lantaran hanya menyebutkan saja tapi memiliki relevansi isu yang rendah, dan ada 314 berita atau setara 18 persen bersifat triva yang artinya menyebutkan tetapi tidak berkaitan dengan topik konservasi.

Baca juga: KLHK sebut kawasan konservasi di Indonesia kian ramai pengunjung

Menurut Justito, pemangku kepentingan yang membicarakan isu-isu konservasi sejauh ini tidak menyampaikan informasi tentang regulasi ke media atau publik, sehingga membuat pengutipannya media dan pemahaman jurnalis menjadi sedikit.

Apabila isu konservasi mesti masuk dalam pengarusutamaan pemberitaan dan diseret ke dalam domain politik, maka perbincangan tentang konservasi dalam bingkai politik harus mengemuka. Hal itu menjadi catatan bagi organisasi nirlaba yang bergerak dalam konservasi, akademisi, dan juga media.

"Kalau kita lihat, aktor pemberitaan di sini termasuk subjek yang dibicarakan dan dikutip secara mayoritas ternyata pemerintah daerah yang sebenarnya kalau kita bisa tangkap adalah pemberitaan tentang konservasi itu banyak yang lingkupnya dari bawah atau ground ditarik ke nasional," terang Justito.

Baca juga: Satu orang utan dilepas di kawasan konservasi Kotawaringin Barat

Lebih lanjut ia menyampaikan pemberitaan daerah ke pusat menjadi sesuatu yang penting dalam isu konservasi. Akan tetapi, isu lokal perlu dikomunikasikan agar bisa diterima masyarakat Jawa lantaran pusat dari informasi saat ini berada di Pulau Jawa.

Sementara itu, Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia memandang Pemerintah Indonesia telah mengatur konservasi keanekaragaman hayati melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem.

Seiring perkembangan zaman, isu dan tantangan terkait konservasi biodiversitas di Indonesia semakin kompleks sehingga pengaturan dalam regulasi yang telah berlaku selama 23 tahun itu dipandang perlu untuk ditinjau kembali secara komprehensif.

Salah satu aspek yang belum diatur dan penting untuk dicermati lebih mendalam, terutama dalam kaitannya dengan konservasi satwa adalah konsep pencegahan terhadap risiko zoonosis melalui pendekatan One Health sebagai salah satu pendekatan yang mengedepankan keterhubungan kesehatan manusia, hewan dan lingkungan secara utuh, sebagai bentuk pembelajaran dari pandemi COVID-19.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi (POKJA Konservasi)—yang merupakan salah satu koalisi yang aktif mengawal regulasi tersebut secara substantif sejak tahun 2009—menemukan isu konservasi seharusnya juga melibatkan multi-sektor dan menjangkau masyarakat yang lebih luas sehingga partisipasi publik dalam mengawal proses pembahasan RUU KSDAHE dapat terwadahi.

Oleh karena itu, peran publikasi dan liputan media massa atas proses kebijakan tersebut menjadi krusial sebagai pemantik partisipasi publik.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
COPYRIGHT © ANTARA 2023