Jakarta (ANTARA) -
Siang itu suasana di pusat perbelanjaan bilangan Fatmawati Jakarta Selatan terlihat lengang. Terlihat hanya beberapa pengunjung yang melintas di lorong etalase penjual.
 
Meskipun tidak ada yang mendatangi tokonya, para penjual tetap menawarkan dagangan, terkadang sembari bermain ponsel untuk mengusir kebosanan.
 
Itulah yang selama ini dihadapi Deby Sinta, pemilik dan penjual perlengkapan bayi di ITC Fatmawati.  Jumlah pengunjung merosot terutama semenjak pandemi COVID-19 menyerang.
 
Saat ANTARA mengunjungi toko tersebut, terlihat dua penjaga toko sedang melakukan live streaming melalui akun media sosial populer untuk mempromosikan produk di tokonya.

Sebelum pandemi, ia sempat memiliki empat kios. Ada kios khusus menjual kereta dorong, mainan perosotan, dan pagar pembatas. Namun, ia terpaksa menutup empat kiosnya karena ada pengurangan barang akibat pandemi.
 
Sejak masa pandemi, toko perlengkapan bayi ini mulai menerapkan penjualan online karena rutinitas pelanggan datang ke toko berhenti total.
 
Saat itu ia membuat akun di sebuah loka pasar atau marketplace populer. Namun pendapatannya tidak sesuai harapan. Beradaptasi dengan pandemi, akhirnya Sinta, tetap bertahan dengan menjual barang dagangannya di toko fisiknya.
 
Sulitnya berjualan melalui online karena barang yang ia jual banyak pesaing dan sudah banyak pula toko resmi dari produk yang dijual sehingga tokonya yang baru mencoba peruntungan online, kalah bersaing.
 
Selain itu ia menjelaskan alasan tetap bertahan dengan berjualan offline karena ingin menjaga loyalitas pelanggan tetapnya.

Di lapangan, konsumen offline yang datang berkunjung ke toko dengan yang membeli online bisa dibedakan dari cara mereka berbelanja.
 
Perbedaan tersebut terindikasi bahwa jika pelanggan toko fisik lebih mengutamakan kecepatan dan pengalaman melihat barang secara langsung sehingga tidak dikecewakan dengan produk yang didapat.
 
Selain itu jika berjualan offline, ia dapat meyakinkan pelanggannya bahwa produk yang dijualnya bagus dan dapat memberikan kesan yang baik agar pelanggan kembali lagi.
 
Sementara pada pelanggan online, mereka cenderung lebih mengutamakan harga yang murah dibandingkan dengan di toko. Namun, terkadang ada kekecewaan karena produk yang datang tidak sesuai harapan atau produk yang diterima terlambat datang dan justru menyalahkan penjual toko.
 
Oleh karena itu, saat ini ia masih tetap mengandalkan pendapatan dari toko fisiknya sambil terus mengembangkan produknya di pasar online.
 
Hal senada juga disampaikan Maulana, pemilik toko batik di Thamrin City, Jakarta Pusat. Bedanya, ia sempat mendapat cuan lebih melalui penjualan dari fitur live di sebuah aplikasi populer.
 
Maulana mengaku saat tokonya sering melakukan jualan live di aplikasi itu saat pandemi COVID-19 menyerang, ia bisa meraup pendapatan Rp30 jutaan dengan total penonton paling banyak mencapai 1,5 juta orang.
 
Saat itu, toko yang menjual berbagai motif batik mulai dari tunik wanita dan kemeja reguler laki-laki, mendapatkan pelanggan yang melakukan checkout bisa mencapai 40 hingga paling banyak 230 pesanan dalam sekali live.
 
Namun, masa-masa itu hanya bertahan beberapa bulan. Sejak Agustus 2022, pendapatannya dari live mulai menurun.
 
Menurunnya pendapatan melalui aplikasi ini karena ada kesalahan yang dianggapnya menjadi titik balik anjloknya omzet dari online. Saat itu ia mengirim baju batik berwarna navy, namun yang dilihat pelanggan adalah warna hitam. Akhirnya tokonya dinilai melakulan pelanggaran oleh aplikasi tersebut dan menurunkan jumlah pembelinya.
 
Namun, menurut dia, itu adalah risiko dari berjualan online. Saat mengunggah produk di aplikasi, akan ada perbedaan pencahayaan di lokasi dengan di foto, bergantung dari efek  kamera. Hal itu yang membuat beberapa kesalahpahaman antara penjual dan pembeli.
 
Ia lalu mengambil jalan tengah untuk tidak berharap banyak dari live di aplikasi itu meskipun tetap menjalankannya dengan jadwal dua kali live sehari pada pagi dan sore hari.
 
Untuk penjualan di toko fisiknya pun belakangan ini diakuinya juga agak lesu. Terhitung bulan Januari 2023, jumlah pengunjung bisa dihitung jari yaitu sekitar 20 orang yang berbelanja. Bahkan untuk mendapat keuntungan Rp5 juta per bulan saja, Maulana dan para karyawannya harus bekerja keras.
 
Sebagai jalan lainnya, ia mengandalkan fitur chat perpesanan untuk melayani pelanggan yang juga sebelumnya sudah sering berbelanja di tokonya. Melalui aplikasi perpesanan itu biasanya banyak untuk pembuatan seragam suatu perusahaan atau acara keluarga.
 
 
Dukungan pemerintah
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Dr. Kasan menjelaskan untuk mendukung  transformasi pelaku usaha ke ranah online, Kemendag memberikan perlindungan kepada pelaku usaha dan konsumen melalui regulasi PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dan Permendag No. 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan, Pengiklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
 
Regulasi tersebut mengatur kewajiban-kewajiban minimum bagi pelaku PPMSE untuk memastikan keamanan bertransaksi bagi konsumen. Beberapa kewajiban yang dimaksud seperti keharusan melakukan pendaftaran perizinan, tertuang dalam Pasal 15 untuk izin usaha dan Pasal 21 bagi izin untuk Sistem Elektroniknya. Kedua, kewajiban perlindungan hak konsumen ada dalam Pasal 26.
 
Ketiga, kewajiban penyediaan layanan pengaduan bagi konsumen (Pasal 27), keempat kewajiban perlindungan data pribadi konsumen dalam Pasal 59, dan kewajiban pelaku usaha PPMSE untuk memiliki izin usaha berupa SIUPMSE.
 
Sampai dengan tahun 2022, Kemendag mencatat 353 pelaku usaha berskala menengah dan besar yang memiliki platform penyelenggara PMSE telah memiliki SIUPMSE. Hal ini meningkat 128,4 persen dibandingkan kepatuhan pelaku usaha yang telah memiliki SIUPMSE pada tahun 2021.
 
Namun, ada beberapa kendala yang masih ditemukan dalam penerbitan surat izin usaha untuk PMSE yaitu Pemerintah belum dapat menerbitkan dan mengumpulkan data-data e-commerce dari pelaku usaha karena pengumpulan data e-commerce masih dilakukan satu pintu oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
 
Selain itu, isu kerahasiaan data perusahaan dan kekhawatiran adanya kebocoran menjadi perhatian utama dari pelaku usaha e-commerce, mengingat industri ini sangat kompetitif di Indonesia. Padahal data tersebut diperlukan untuk menyusun kebijakan e-commerce yang tepat untuk melaksanakan pengembangan e-commerce yang tepat sasaran.
 
Kendala lain adalah platform loka pasar di Indonesia masih memasarkan barang/jasa ilegal atau yang dilarang atau dibatasi perdagangannya. Masih banyak pula beredar barang yang tidak diawasi kualitas dan keamanannya, yang jika dibiarkan dapat menimbulkan potensi atau efek berbahaya bagi pelaku usaha dan masyarakat.
 
Untuk mendorong penjualan barang dalam negeri di e-commerce, Kemendag mewajibkan pelaku usaha mengutamakan penjualan produk dalam negeri yang ada dalam PP No. 80 Tahun 2019 dan Permendag No. 50 Tahun 2020.
 
Namun, dukungan Pemerintah dalam praktiknya sudah diterapkan dengan memberikan Program Fasilitator Edukasi e-Commerce menyerupai program training for trainers (TOT) kepada sekelompok orang di daerah untuk memahami semua aspek e-commerce. Dari pelatihan ini diharapkan dapat membantu dan mendampingi UMKM lain di sekitarnya menjadi pelaku e-commerce.
 
Saat ini Kemendag sudah menghasilkan 690 tenaga fasilitator yang telah melakukan pendampingan pada 1682 UMKM untuk berjualan online.

Selain itu Kemendag juga menjalin kerja sama dengan pelaku usaha PPMSE untuk mendigitalisasi warung atau toko kelontong untuk memperluas jangkauan pasar, dan melakukan pembenahan dari segi supply side untuk mempermudah pembelian stok barang langsung dari distributor dan memberikan insight pasar melalui data inventory yang terjual habis.
 
Kemendag menargetkan akan melakukan digitalisasi 1.000 pasar rakyat serta menciptakan 250.000 pedagang pasar terdigitalisasi. Beberapa program dalam rangka peningkatan literasi digital pasar adalah kerja sama (MoU) dengan universitas dan perguruan tinggi (Kampus Merdeka), Sekolah Pasar, Pelatihan Pengelola Pasar, dan Kerja Sama dengan sejumlah platform digital.
 
Usaha kreatif pelaku usaha
Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga berpendapat bahwa fitur berjualan melalui live streaming membuktikan bahwa pelaku usaha juga harus kreatif memanfaatkan fitur-fitur yang disediakan oleh platform.
 
Tren live streaming ini akan berjalan lama karena di dalamnya akan selalu ada inovasi baru, mengingat dunia digital yang sangat dinamis. Selama ada kreativitas, bisa jadi tren ini akan terus berjalan atau bisa membuat kreativitas baru yang lain.
 
Pelaku industri pasar digital juga harus melihat dan berkaca pada tren yang sedang terjadi di luar Indonesia agar bisa terus berinovasi.
 
Ia melihat tujuan transformasi digital agar industri ini segera berbenah dan melakukan pendewasaan pada konsumen agar tidak selalu mencari barang murah di toko online.
 
Konsumen harus diberi pemahaman bahwa industri digital bukan sekadar memberi akses untuk produk-produk murah, melainkan juga produk-produk berkualitas.
 
Harga murah yang ditawarkan, menurut dia, hanya sebatas biaya operasional yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan di toko offline.
 
Saat membuka toko, pedagang harus memikirkan biaya sewa atau penggunaan listrik sehingga barang yang dijual akan naik harganya. Sedangkan jika berjualan daring, pedagang hanya memerlukan gawai, seperti telepon seluler atau laptop untuk memasarkan produknya sehingga tidak memerlukan biaya operasional lainnya, selain biaya pengiriman.
 
Pemerintah disarankan bisa intens  berkomunikasi dengan pelaku pasar digital agar kebijakan yang dikeluarkan tepat sasaran. Selain itu, juga bisa mendorong pertumbuhan bisnis digital, yang tidak hanya dari sisi industri digital tapi juga penggunanya, yaitu pelaku usaha dan konsumen.









 

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023