Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menegaskan masih ada ruang bagi otoritas moneter untuk menurunkan tingkat suku bunga, meskipun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami depresiasi beberapa waktu terakhir. "Kalau situasi membaik, seperti yang kemarin-kemarin, ruangan untuk menurunkan kembali suku bunga masih tetap ada," kata Deputi Gubernur BI Bidang Moneter, Hartadi A. Sarwono, sebelum mengikuti Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR di Jakarta, Kamis. Terakhir kali, BI menurunkan BI rate 25 basis poin dari 12,75 % menjadi 12,50 %, dan pada saat itu kurs rupiah berada di bawah Rp9.000 per dolar AS. Mengenai kondisi kurs yang saat ini melemah hingga di atas Rp9.000, bahkan sempat mencapai Rp9.300 per dolar AS, Hartadi mengatakan, volatilitas yang terjadi saat ini masih dalam batas normal. Menurut dia, melemahnya rupiah dari sisi regional, karena kondisi ekonomi di AS yang menunjukkan adanya tekanan inflasi yang mendorong Bank Sentral AS (The Fed) tidak jadi menurunkan suku bunga, tetapi malah menaikkannya. "Ini menyebabkan orang-orang yang memegang aset dalam rupiah atau regional lainnya memindahkannya ke AS," katanya. Namun, ia menilai, masih adanya prospek kondisi ekonomi Indonesia yang membaik, maka mereka yang tadinya melakukan aksi ambil untung, kembali lagi ke Indonesia sehingga rupiah menguat kembali. "Untuk sementara ya sudah biarkan saja, karena orang-orang atau investor jangka pendek memang mencari untung. Itu normal," katanya. Menurut dia, setiap bulan ada rapat dewan gubernur yang memonitor berbagai perkembangan termasuk kurs. Jika memang harus ada perubahan kebijakan moneter, maka Bi akan melakukannya, namun BI tidak akan terlalu reaktif dengan perubahan yang sifatnya sementara. Mengenai intervensi, Hartadi mengatakan, BI melakukannya yang bersifat dua arah. Jika perlu menjual, maka BI akan menjual, dan sebaliknya jika perlu membeli BI akan melakukannya. Ketika ditanya pers, apakah dana/modal yang masuk selama ini hanya berupa portofolio atau investasi langsung, Hartadi mengatakan, yang masuk lebih banyak portofolio. "Anda cek di regional, pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terjadi, bukan hanya di Indonesia," demikian Hartadi A. Sarwono. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006