Vancouver (ANTARA) - World Water Forum (WWF) mendesak agar segera dilakukan finalisasi traktat global sebagai upaya perlindungan terhadap laut lepas.

"Traktat keanekaragaman hayati laut lepas pertama yang pernah ada tersebut akan menyediakan sebuah mekanisme yang diakui secara global untuk menetapkan kawasan perlindungan laut, dan sangat penting guna mencapai tujuan dalam melindungi setidaknya 30 persen lautan dunia," ujar Jessica Battle, pakar tata kelola dan kebijakan laut global senior WWF.

Dalam Kongres Kawasan Lindung Laut Internasional Kelima (Fifth International Marine Protected Areas Congress/IMPAC5) yang berlangsung pada 3-9 Februari 2023 di Vancouver, Kanada, WWF mendesak para pembuat kebijakan untuk mempercepat perlindungan laut global dari 8 persen menjadi 30 persen dalam kurun waktu delapan tahun.

Sebelumnya, dalam COP15 yang berlangsung di Montreal pada Desember lalu, tujuan melindungi dan melestarikan setidaknya 30 persen wilayah laut dan pesisir dunia diadopsi oleh 196 negara di bawah Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity Framework/GBF).

"China memainkan peran yang sangat kuat dalam COP15, memastikan bahwa kami mendapatkan kesepakatan dari 196 pihak untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya alam pada 2030," kata Battle, yang akan menghadiri negosiasi tersebut di New York.

Dalam sebuah resolusi pada Desember 2017, Majelis Umum PBB memutuskan untuk mengadakan konferensi antarpemerintah guna menyusun teks instrumen internasional yang mengikat secara hukum tentang konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati laut.

Perairan yang berada di luar yurisdiksi nasional, yang dikenal sebagai laut lepas, mencakup hampir dua pertiga dari luas lautan di seluruh dunia. Namun, hanya sekitar 1 persen dari hamparan luas tersebut yang dilindungi, kata WWF.

Battle mengatakan traktat itu akan diratifikasi ketika 30 negara menandatanganinya, dan kemudian diimplementasikan ke dalam undang-undang nasional.

Battle mengatakan bahwa pemberlakuan segera traktat tersebut sangatlah krusial.




 

Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
COPYRIGHT © ANTARA 2023