Jakarta (ANTARA) - Selama tujuh pekan pertama tahun 2023 saja, tercatat ada lebih dari 30 insiden yang dilaporkan oleh Koalisi Pencegahan Bencana Kimia (Coalition to Prevent Chemical Disasters), atau kira-kira satu insiden setiap satu setengah hari, papar The Guardian pada Sabtu (25/2).

Tahun lalu Koalisi itu mencatat 188 insiden, meningkat dari 177 insiden pada 2021.

Insiden-insiden yang dilaporkan oleh koalisi tersebut memiliki tingkat keparahan yang beragam, tetapi masing-masing insiden melibatkan pelepasan bahan kimia yang dianggap berpotensi menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan, kata surat kabar itu.

Jumlah persis insiden bahan kimia berbahaya sulit ditentukan mengingat AS memiliki banyak lembaga yang terlibat dalam respons terhadap insiden tersebut.

Namun, Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat ( Environmental Protection Agency/EPA) mengatakan kepada The Guardian bahwa selama 10 tahun terakhir, badan itu melakukan rata-rata 235 respons tanggap darurat per tahun, termasuk respons terhadap pembuangan bahan kimia berbahaya atau minyak.

Secara keseluruhan, sekitar 200 juta orang berada dalam risiko reguler, dengan banyak dari mereka merupakan masyarakat kulit berwarna, atau komunitas yang kurang beruntung, kata The Guardian mengutip pernyataan Mathy Stanislaus, yang menjabat sebagai asisten administrator kantor pertanahan dan manajemen darurat EPA selama masa pemerintahan Obama.

"Mereka setiap hari hidup dalam ketakutan akan terjadinya insiden," kata Stanislaus.

Meskipun beberapa perwakilan industri mengatakan bahwa tingkat kecelakaan bahan kimia cenderung menurun, para advokat masyarakat dan pekerja menyatakan tidak setuju.

Mereka mengklaim bahwa data yang tidak lengkap dan keterlambatan dalam pelaporan insiden memberikan kesan keliru tentang adanya perbaikan, demikian menurut surat kabar itu. 


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Budhi Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2023