Jakarta (ANTARA) - Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) mendorong tenaga pendidik mendeteksi dan menerapkan pengajaran inklusi yang tepat bagi siswa dari kalangan anak berkebutuhan khusus (ABK).

"Kami ingin menginspirasi para tenaga pendidik dan orang tua agar mampu menerapkan pengajaran inklusi untuk anak didik dengan metode yang tepat," kata Founder KGSB, Ruth Andriani dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Ahad.

KGSB melaporkan data statistik yang dipublikasikan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada Juni 2022, kisaran angka disabilitas anak usia 5--19 tahun adalah 3,3 persen.

Baca juga: KGSB: Guru perlu bangun "personal branding" agar dikenal publik

Sedangkan pada 2021, jumlah penduduk pada usia tersebut mencapai 66,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah anak usia 5--19 tahun penyandang disabilitas sebanyak 2.197.833 jiwa.

Kemudian, data Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi per Agustus 2021, menunjukkan jumlah peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif mencapai 269.398 anak.

Dengan data tersebut, persentase anak penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru sejumlah 12,26 persen.

Artinya, masih sangat sedikit dari anak penyandang disabilitas atau ABK di Indonesia, yang seharusnya mendapatkan akses pendidikan inklusif, padahal dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat.

Ruth mengatakan peran orang tua berpengaruh positif terhadap penyelenggaraan sekolah inklusi. Selain anak berkebutuhan khusus, keluarga dari anak berkebutuhan khusus juga membutuhkan pendampingan konseling yang tepat agar dapat mendukung anaknya secara maksimal.

Layanan bimbingan konseling bagi ABK bertujuan agar anak dapat mencapai penyesuaian dan perkembangan yang optimal sesuai dengan kemampuannya, bakat, dan nilai-nilai yang dimiliki, mengingat setiap anak memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri.

Founder Rumah Guru BK, Ana Susanti menjelaskan layanan pendidikan inklusif menjadi paradigma baru yang menuntut sistem di sekolah harus menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan belajar peserta didik.

Baca juga: Dosen UNJ: Ada empat indikator kembangkan lingkungan belajar inklusif

Namun, salah satu yang menjadi kendala sekolah reguler yang baru menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah mengidentifikasi atau menemukenali ABK yang terdapat di sekolah mereka, kata Ana menambahkan.

"Menemukenali ABK menjadi sebuah cara untuk mengetahui kondisi kelainan atau penyimpangan seorang anak, seperti kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional dan atau sensoris neurologis dengan membandingkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak yang seusianya," katanya.

Ia mengatakan upaya tersebut bisa dimulai dari mengenali secara sederhana perbedaan tumbuh kembang ABK dengan anak yang seusianya, misalnya balita tanpa merangkak, kontrol emosi yang buruk, sering tantrum, serta hambatan dalam mengenali huruf, benda dan angka.

Baca juga: Mensos dorong daerah bangun sekolah inklusi

Baca juga: Wapres minta pemda dukung program inklusi bagi kelompok difabel


Setelah ABK dikenali melalui cara sederhana bisa dilanjutkan dengan asesmen yang dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, terapis dan lainnya. Salah satu asesmen yang dapat diterapkan adalah asesmen yang menggali potensi ABK.

"Tantangan yang kerap dihadapi oleh ABK dan keluarganya adalah sering terjadi pandangan yang keliru tentang ABK dan mitos yang melingkupi ABK. Hal ini terjadi karena kurangnya literasi dan kesadaran masyarakat mengenai disabilitas," katanya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
COPYRIGHT © ANTARA 2023