JAKARTA (ANTARA) - Setiap kementerian dan lembaga/institusi pemerintahan memiliki biro kehumasan, komunikasi atau penerangan yang berperan sebagai penyambung lidah kepada media dan publik secara luas.

Di era tsunami informasi seperti sekarang ini, bertugas di bagian tersebut tentu bukan pekerjaan ringan. Hanya orang-orang terpilih yang mampu mengembannya. Seperti apa “jungkir balik” keseharian para juru bicara pemerintah itu?

Di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang belakangan ini citranya begitu mengilap dan akrab dengan publik, dengan berbagai media komunikasi yang mudah diakses, tentu ada sosok cakap di belakang layarnya.

Adalah Kepala Biro Komunikasi I Gusti Ayu Dewi Hendriyani yang menerapkan semangat 3G: Gercep, Geber, Gaspol dalam menunaikan tugas kehumasannya. Gercep yang dia maksud adalah gerak cepat, Geber yaitu gerak bersama, dan Gaspol berarti garap semua potensi yang ada.

“Semangat 3G ini juga perlu dibarengi dengan inovasi, adaptasi, dan kolaborasi untuk terus menyuguhkan komunikasi yang tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat manfaat,” begitu ujar Dewi.

Sebagai orang yang berperan menjembatani komunikasi Kemenparekraf dengan media dan khalayak, Dewi membangun kedekatan dan keakraban dengan banyak kalangan.

Humas, menurut dia, sangat erat kaitannya dengan human relations dan human touch.

“Karenanya, selain senantiasa menunjukkan sisi profesionalisme kita sebagai seorang humas, penting juga untuk menunjukkan sisi human kita," katanya.

Dalam konteks ini, Dewi mencontohkan bagaimana saat menjalin relasi dengan para wartawan, dia berusaha mengingat nama atau bahkan turut memberikan ucapan pada hari-hari spesial pribadi mereka, seperti ulang tahun atau pernikahan.

Kepala Biro Komunikasi Kemenparekraf I Gusti Ayu Dewi Hendriyani saat paparan dalam sebuah rakornas. Dok. Biro Komunikasi Kemenparekraf
Perempuan yang dulu dosen di Politeknik Pariwisata Bali ini, menyadari betul peran strategis humas sebagai tulang punggung institusi dalam membangun citra positif. Ia pun mensyukuri pekerjaan sebagai humas memberinya kesempatan untuk bertemu dengan banyak orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Memperoleh banyak hal yang menyenangkan dari interaksi itu, meski adakalanya mendapat pengalaman yang kurang mengenakkan.

Ketika menghadapi situasi yang kurang menyenangkan, profesionalisme seseorang juga diuji dan dilatih. Bagaimana caranya agar bisa tetap bersikap profesional, ramah, namun tegas pada saat yang bersamaan.

Kemenparekraf/Baparekraf berhasil menyabet predikat Badan Publik Informatif dalam Anugerah Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2022 yang diinisiasi Komisi Informasi Pusat (KIP).

Dalam menjaga citra diri dan institusinya, Dewi menganut sebuah kutipan: “Be the same person privately publically and personally” atau “Jadilah pribadi yang sama baik ketika di hadapan publik maupun dalam situasi personal”. Maka sebagai figur publik di Kemenparekraf, ia pun tak merasa terbebani untuk selalu menjaga citra diri yang baik.

Sementara untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadinya, Dewi kerap meluangkan waktu untuk berolahraga, berbagi cerita dengan keluarga, dan rutin menjalankan ibadah sebagai umat beragama.

“Pentingnya melakukan hal-hal yang bermakna untuk diri sendiri di sela kesibukan pekerjaan akan berpengaruh kepada kestabilan mood, terlihat bagaimana diri kita tampil di hadapan publik,” ungkap Ayu Dewi.

 

Tak kenal libur.

Ada pula cerita keseruan dari Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang dikomandoi Ketut Sumedana. Sebagai juru bicara pada institusi hukum, Kapuspenkum ini menerapkan strategi komunikasi yang jitu. Begitu banyak pertanyaan yang datang kepadanya, tapi ia harus cerdas menangkap arah pertanyaan itu.

Sebab, menurut pengakuannya, tidak semua pertanyaan media murni untuk mencari berita demi kepentingan masyarakat. Ada juga yang membawa kepentingan politik, kepentingan pribadi, dan perusahaan. Bahkan ada pula yang membawa kepentingan para pelaku tindak pidana.

“Sehingga tidak semua pertanyaan memang kita harus jawab secara vulgar. Tidak semua pertanyaan harus kita ladeni, ya kan gitu. Dan paling terpenting kita selalu tersenyum dengan mereka,” kata Ketut.

Dalam kondisi apa pun termasuk saat stres atau mendapat pertanyaan yang kurang berkenan baginya, dia tetap berusaha tersenyum ketika menanggapinya.

Memang tidak gampang menjaga image dan mood, apalagi di depan kamera televisi. Tuntutan peran itu membuat Ketut membangun pengendalian diri yang cukup matang.

Namun, Ketut Sumedana,  doktor di bidang hukum ini, tidak merasa terbebani dengan tanggung jawab pekerjaannya yang besar. Ia percaya citra kejaksaan yang dibangun adalah hal baik, begitupun citra baik yang harus melekat dalam dirinya sebagai pimpinan Puspenkum.

Hanya saja, mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Bali ini merasa perlu berhati-hati ketika berada di tempat umum karena segala aktivitasnya pasti akan disorot publik.

“Wah ini Pak Ketut, ini ke mana ini? Ada apa ini? Ini harus kita jaga sekali. Kita makan pun harus dijaga. Makan dengan siapa, dan di mana tempatnya makan, dan bergaul dengan siapa itu harus kita jaga betul. Karena apa? Karena Kejaksaan secara utuh itu ada di Puspenkum, ada di saya selama ini,” ungkapnya.

Untuk menjaga performa kerjanya, Ketut bertemu dengan Jaksa Agung minimal tiga kali dalam sehari. Pagi dan sore untuk melaporkan pemberitaan seluruh Indonesia tentang kejaksaan, sedangkan siang hari berdiskusi terkait dengan langkah-langkah membangun citra kejaksaan.

Penulis buku “Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Berbasis Nilai-Nilai Pancasila” ini tidak membatasi jam kerja. Ia memegang tiga ponsel yang selalu dalam posisi on 24 jam. Satu ponsel ia dedikasikan untuk pimpinan dan lingkungan kerja, ponsel kedua dikhususkan untuk berkomunikasi dengan media, dan satu ponsel lagi untuk keluarga. Karena Ketut seorang perantauan, di mana istri dan dua anaknya berada di Bali, Yogyakarta, dan NTB, maka ponsel untuk keluarga juga tidak pernah dimatikan.

Dengan durasi waktu tidur yang hanya sekitar 4 jam sehari, beruntung Kapuspenkum memiliki tim dokter pribadi yang merupakan ring 1 Jaksa Agung. Dua minggu sekali dia harus kontrol kesehatan termasuk ambil darah dan diberikan vitamin. Ketut mengaku tidak pernah turun berat badan akibat stres pekerjaan, justru stres membuatnya banyak makan dan ingin makan enak.


Cerita tentang seni menggeluti profesi kehumasan juga datang dari Staf Humas Pelindo Regional 4 Wiwiek Dwi Endah yang sudah 7 tahun mengabdi di BUMN pengelola pelabuhan itu. Seperti halnya kerja di media, tugas kehumasan juga menuntutnya kerja penuh waktu tanpa mengenal libur, 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.

Wiwiek, yang dulunya wartawan, menyadari betul bagaimana konsekuensi bekerja sebagai humas. Karena, menurutnya, antara media dan humas ada kesamaan dalam hal karakter pekerjaan yang tak kenal libur.

“Makanya seorang petugas humas harus punya passion di bidang PR (public relation) supaya bisa menghayati tugas dengan baik,” kata Wiwiek.

Dalam melayani komunikasi dari banyak arah, baik secara internal dengan para pimpinan maupun keluar dengan media Wiwiek selalu mengupayakan mereka merasa “aman” tertangani. Apalagi terhadap media di mana ia harus berpijak pada keterbukaan informasi.

“Pokoknya, sebisa mungkin mereka merasa, oh aman nih, pertanyaan saya, oh aman nih nanti wawancara saya. Sebisa mungkin saya buat seperti itu kepada mereka (media),” tuturnya.

Bagi dia, humas adalah jendela perusahaan, bagaimana humas dipandang, begitulah perusahaan dipandang.

“Jadi, misalnya, (petugas) humasnya jutek, ya jangan ke Pelindo, deh. Humasnya jutek banget. Ya nggak usah deh, berarti perusahaannya yang udah bagus bisa rusak kayak gitu, kan," paparnya.

Untuk menjaga citra institusi tempatnya mengabdi, perempuan asal Poso Sulawesi Tengah ini mengaku kadang harus “munafik” ketika menghadapi oknum-oknum yang mempunyai modus tidak baik.

“Walaupun orang itu membuat saya bete, bad mood, ya, saya berusaha buat perasaan saya nyaman, wajah saya semringah, namun tetap tegas menjalankan SOP perusahaan,” ungkap Wiwiek.


Hakikat humas

Mengenai peran humas (hubungan masyarakat) dan kelengkapan kompetensi yang harus dimiliki, pakar komunikasi kehumasan Fyan Andinasari Kuen menjelaskan bahwa hakikat humas adalah terciptanya komunikasi, yang bersifat dua arah dan terencana serta berorientasi pada organisasi dengan publik sebagai sasarannya.

Menurut Fyan, kandidat doktor pada Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Hasanuddin Makassar itu, personel humas harus menguasai dengan baik segala sesuatu yang berkaitan dengan perkerjaannya, termasuk pemahaman internal maupun untuk berbicara secara eksternal sebagai corong institusinya.

“Dapat melakukan pencitraan institusinya pada publik sekaligus menutup kelemahan pada institusinya, jika ada,” kata dia.

Dalam membangun citra institusi, seorang petugas humas dituntut piawai memainkan seni berkomunikasi untuk meruntuhkan kekakuan birokrasi hingga tercipta hubungan yang cair baik dengan media maupun publik.

“Apabila tidak dapat berkomunikasi yang asyik maka tidak dapat mencitrakan institusinya dengan baik, bahkan malah yang ada akan merusak citra institusi. Inilah yang menjadi bumerang,” Fyan mengingatkan.

Meski seorang petugas humas merupakan bagian ikon institusi, menurutnya, tetap bisa memiliki kehidupan pribadi.

“Pada kehidupan pribadi silakan menjadi diri sendiri, namun tetap menjaga relationship dengan siapa saja, mengingat pekerjaan sebagai (petugas) humas yang melekat pada dirinya,” pesan Kepala Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia Timur itu.

Dalam menggeluti profesi kehumasan, seseorang setidaknya memainkan tiga seni: seni komunikasi, seni mengolah emosi/mood, dan seni pengendalian diri karena tugas pencitraan yang diemban.

Maka menampilkan diri dalam versi terbaik di hadapan publik adalah keniscayaan.










 

Pewarta: Sizuka
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023