Jakarta (ANTARA) - Kondisi Indonesia yang berada di garis ekuator telah menjadikan negeri ini sebagai rumah bagi tumbuh dan berkembangnya aneka pepohonan yang memiliki peran sangat besar dalam memitigasi perubahan iklim.

Matahari yang bersinar sepanjang tahun dan curah hujan yang cukup tinggi mendukung proses fotosintesis tumbuhan untuk menghasilkan oksigen bagi makhluk hidup.

Pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 125,76 juta hektare dengan komposisi terbesar adalah hutan daratan seluas 120,47 juta hektare dan hutan perairan 5,32 juta hektare.

Keberadaan kawasan hutan itu setara 62,97 persen dari total luas daratan Indonesia yang mencapai angka 191,35 juta hektare. Maka, tidak heran bila Indonesia dijuluki sebagai paru-paru dunia lantaran persentase kawasan hutan mencapai lebih dari separuh total luas daratannya.

Sepanjang tahun 2019 sampai 2020, Indonesia tercatat mampu menurunkan angka deforestasi sebanyak 115,46 ribu hektare atau setara 75,03 persen bila dibandingkan angka deforestasi pada periode 2018 hingga 2019 yang mencapai 462,46 ribu hektare.

Indonesia bersama seluruh negara telah sepakat untuk untuk menjaga kenaikan suhu global pada 1,5 derajat Celcius. Hal ini untuk mencegah terjadinya bencana dahsyat bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan.

Kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius tersebut berpotensi meningkatkan intensitas curah hujan dan dampak ikutan lainnya berupa bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan kekeringan di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Merujuk prediksi Panel antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), suhu global akan terus meningkat sampai 2,1 sampai 3,5 derajat Celcius pada skenario intermediet bila tidak ada penurunan emisi gas rumah kaca yang tinggi pada periode 2020 sampai 2050.

"Kinerja penurunan emisi gas rumah kaca nasional sektor kehutanan pada tahun 2016-2020 adalah sebesar 577 juta ton setara karbon dioksida," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam Rapat Kerja Teknis Nasional tentang Pengendalian Perubahan Iklim di Jakarta, pada awal Maret 2023.

Pemerintah Indonesia terus memperluas kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjaga kedaulatan hutan agar tidak rusak. Ini juga menjadi pembuktian tentang konsistensi Indonesia dalam memitigasi perubahan iklim.

 
Cetak Biru
 
Indonesia telah menetapkan sandaran target terkait pengendalian perubahan iklim pada sektor hutan dan lahan melalui Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030.

Pemerintah Indonesia menargetkan sektor hutan dan lahan bisa mencapai minus 140 juta ton setara karbon dioksida pada 2030. Lalu, tingkat emisi gas rumah kaca ditargetkan bisa menyentuh angka minus 304 juta ton setara karbon dioksida pada 2050.​​​​​​

Percapaian target itu ditentukan oleh penurunan emisi yang bersumber dari deforestasi dan lahan gambut melalui 15 kegiatan aksi, yaitu pengurangan laju deforestasi lahan mineral, pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove, pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral, pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut dan mangrove, dan pembangunan hutan tanaman.

Kemudian, pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi dengan rotasi, rehabilitasi non rotasi, restorasi gambut dan perbaikan tata air gambut, dan rehabilitasi mangrove dan aforestasi atau pembentukan hutan pada kawasan bekas tambang.

Aksi selanjutnya berupa konservasi keanekaragaman hayati; perhutanan sosial; introduksi replikasi ekosistem, ruang terbuka hijau, dan ekoriparian; pengawasan dan penegakan hukum dalam mendukung perlindungan dan pengamanan kawasan hutan; serta pengembangan dan pemantapan hutan adat.

Terdapat tiga aksi inti dari kegiatan FOLU yang dilakukan pada tingkat tapak. Pertama, aksi pengurangan emisi gas rumah kaca dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut serta mengurangi deforestasi.

Kedua, aksi mempertahankan serapan emisi dengan menjaga dan mempertahankan kondisi tutupan hutan-hutan di Indonesia. Ketiga, meningkatkan serapan emisi melalui aksi rehabilitasi hutan dan lahan serta membuat hutan-hutan tropis baru.

Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan tegas dengan menghentikan penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut yang mencakup lebih dari 66 juta hektare.

Tak hanya itu, pemerintah juga memperbaiki gaya kelola dan tata air gambut yang luasnya mencapai 3,4 juta hektare.

Indonesia terus memperkuat aksi-aksi nyata di lapangan dengan leading by example, baik itu terkait konservasi keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, pengendalian pencemaran lingkungan maupun isu global terkait dengan perubahan iklim, dan juga kerusakan lingkungan.

Bahkan, KLHK kini telah membangun kolaborasi dengan berbagai instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut mengingat tahun ini Indonesia menghadapi kemarau kering yang berdurasi panjang.

Dari sisi penegakan hukum, Indonesia terus mengetatkan pengawasan penguatan regulasi demi melindungi hutan.

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK telah mengamankan lingkungan hidup dan kawasan hutan di Indonesia melalui 1.861 operasi penegakan hukum selama beberapa tahun terakhir. Sebanyak 1.338 perkara pidana telah dibawa ke pengadilan, termasuk perkara pertambahan hutan.
 

Pengelolaan berkelanjutan

Pemerintah menyadari upaya perlindungan hutan tidak bisa hanya dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang berada di lapisan atas saja.

Oleh karena itu, masyarakat di tingkat tapak juga diajak untuk terlibat dalam menjaga hutan agar tetap lestari melalui program perhutanan sosial dengan pola agroforestri atau wanatani.

Sistem wanatani diperuntukkan bagi petani yang menggarap lahan hutan milik negara atau hutan adat dengan syarat proses bercocok tanamnya harus berbasis ramah lingkungan.

Jumlah realisasi penerbitan surat keputusan perhutanan sosial dengan pola wanatani telah mencapai 5,31 juta hektare per Desember 2022.

Pemerintah telah menerbitkan 8.041 unit surat keputusan bagi masyarakat yang mencapai 1,14 juta kepala keluarga.

Melalui perhutanan sosial, maka hutan dan gambut tidak lagi hanya sekedar tempat untuk menyerap emisi karbon dan mempertahankan air, serta rumah bagi keanekaragaman hayati, melainkan juga sebagai sumber untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing Indonesia di tingkat internasional.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Sarwono Kusumaatmadja mengatakan pemerintah telah membangun berbagai langkah kolektif, di antaranya melalui aspek pengelolaan hutan berkelanjutan.

Indonesia sedang beralih tidak hanya fokus kepada pengelolaan kayu, tetapi lebih banyak diarahkan kepada pengelolaan ekosistem sumber daya hutan yang berbasis masyarakat.​​​​​

Standarisasi instrumen menjadi sesuatu yang sangat berperan penting untuk mengelola hutan secara berkelanjutan tersebut.

"Dengan adanya standarisasi pengolahan hutan di hulu maupun hilir diharapkan memberikan dampak positif dalam peningkatan laba kualitas pengelolaan hutan tidak hanya tutupan hutan yang sempurna, tetapi juga keanekaragaman hayati terlindungi dan juga tata air terpelihara," kata Menteri Lingkungan Hidup di era Orba itu.

Kini Indonesia sedang menyiapkan rancangan peraturan presiden untuk mempercepat perhutanan sosial. Peraturan itu melibatkan kementerian dan lembaga, serta lembaga swadaya masyarakat.

Pemerintah berkomitmen akan terus melakukan pendampingan agar kelompok usaha perhutanan sosial bisa makin mandiri dan terbentuk sentra-sentra pusat pertumbuhan ekonomi daerah.








 

 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023