Singapura (ANTARA) - Harga minyak melonjak di perdagangan Asia pada Senin sore, membukukan kenaikan harian terbesar dalam hampir setahun, setelah pengumuman mengejutkan oleh OPEC+ untuk memangkas lebih banyak produksi mengguncang pasar.

Minyak mentah berjangka Brent terangkat 4,0 dolar AS atau 5,0 persen, menjadi diperdagangkan di 83,89 dolar AS per barel pada pukul 06.27 GMT, setelah menyentuh level tertinggi dalam sebulan di 86,44 dolar AS di awal sesi.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS juga meningkat sekitar 4,0 dolar AS atau 5,0 persen, menjadi diperdagangkan di 79,39 dolar AS per barel, setelah mencapai level tertinggi sejak akhir Januari di awal sesi.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu mereka termasuk Rusia mengguncang pasar dengan mengumumkan pengurangan produksi lebih lanjut sekitar 1,16 juta barel per hari (bph) pada Minggu (2/4/2023).

Kelompok tersebut, yang dikenal sebagai OPEC+, diperkirakan akan mempertahankan keputusan sebelumnya untuk memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari hingga Desember pada pertemuan bulanannya pada Senin.

Janji tersebut membuat total volume pemotongan oleh OPEC+ menjadi 3,66 juta barel per hari menurut perhitungan Reuters, setara dengan 3,7 persen dari permintaan global.

Akibatnya, Goldman Sachs menurunkan perkiraan produksi akhir 2023 untuk OPEC+ sebesar 1,1 juta barel per hari dan menaikkan perkiraan harga Brent masing-masing menjadi 95 dolar AS dan 100 dolar AS per barel untuk tahun 2023 dan 2024, kata para analisnya dalam sebuah catatan.

Goldman Sachs memperkirakan pengurangan produksi dapat memberikan dorongan 7,0 persen untuk harga minyak, berkontribusi pada pendapatan minyak Saudi dan OPEC+ yang lebih tinggi.

Pemerintahan Biden mengatakan langkah yang diumumkan oleh produsen itu tidak bijaksana. Sementara itu, beberapa analis mempertanyakan alasan OPEC+ untuk pengurangan produksi tambahan.

"Sulit untuk membeli alasan 'pre-emptive' dan 'precautionary' - terutama sekarang, ketika krisis perbankan telah mereda dan Brent merangkak naik kembali menuju 80 dolar AS dari posisi terendah 15 bulan pada awal Maret," kata Vandana Hari, pendiri penyedia analisis pasar minyak Vanda Insights.

Brent turun bulan lalu menuju 70 dolar AS per barel, terendah dalam 15 bulan, di tengah kekhawatiran bahwa krisis perbankan global dan kenaikan suku bunga akan memukul permintaan meskipun produksi minyak OPEC lebih rendah pada Maret karena pemeliharaan ladang minyak di Angola dan penghentian beberapa ekspor Irak.

"Langkah hari ini, seperti pemotongan Oktober, dapat dibaca sebagai sinyal jelas lain bahwa Arab Saudi dan mitra OPEC akan berusaha untuk mengurangi aksi jual makro lebih lanjut dan bahwa Jay (Jerome) Powell bukan satu-satunya bankir bank sentral yang penting," kata analis RBC Capital Markets, Helima Croft.

"Intinya adalah Washington dan Riyadh hanya memiliki target harga yang berbeda untuk inisiatif kebijakan utama mereka."

Analis di JPMorgan mengatakan langkah tersebut datang lebih lambat dari yang mereka perkirakan dan respons yang lambat terhadap harga yang lebih lemah akan berdampak terbatas pada keseimbangan penawaran-permintaan dan dapat menunda efek pada harga.

"Sejak November neraca permintaan-penawaran minyak global kami menunjukkan tindakan kebijakan yang kuat diperlukan untuk menjaga surplus minyak global," kata mereka.

Produksi minyak mentah AS naik pada Januari menjadi 12,46 juta barel per hari, tertinggi sejak Maret 2020, data Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan pada Jumat (31/3/2023).

Baca juga: Dolar naik karena kekhawatiran inflasi setelah OPEC+ pangkas produksi
Baca juga: Dolar menguat dipicu kekhawatiran inflasi karena OPEC+ pangkas pasokan

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2023