Hong Kong (ANTARA) - Saham Asia tergelincir pada Selasa, karena investor bergulat dengan kekhawatiran inflasi setelah pemotongan mengejutkan target produksi minyak grup OPEC+, sementara imbal hasil obligasi pemerintah turun setelah data manufaktur AS yang lemah memperbaharui kecemasan tentang ekonomi.

Di Asia, indeks MSCI dari saham Asia-Pasifik di luar Jepang turun 0,4 persen, membalikkan kenaikan awal. Indeks saham Nikkei Jepang berakhir naik 0,35 persen.

Di Sydney, indeks S&P/ASX 200 ditutup naik tipis 0,18 persen, sementara dolar Australia jatuh setelah Bank Sentral Australia menghentikan siklus pengetatannya setelah kenaikan suku bunga 10 kali berturut-turut.

Indeks CSI 300 saham-saham unggulan China berakhir terangkat 0,31 persen, sementara Indeks Komposit Shanghai ditutup naik 0,49 persen. Indeks Hang Seng Hong Kong berakhir turun 0,54 persen dipimpin oleh saham teknologi, karena meningkatnya ketegangan China-AS merusak sentimen investor.

Pada awal perdagangan Eropa, pan-region Euro Stoxx 50 berjangka naik 0,33 persen, DAX berjangka Jerman naik 0,39 persen dan FTSE berjangka naik 0,35 persen. Saham berjangka AS, e-mini S&P 500 turun 0,07 persen.

Pengumuman pada Minggu (2/4) tentang pemotongan target produksi oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, mendorong harga minyak lebih tinggi dan memperumit prospek inflasi.

Minyak mentah Brent terakhir naik 0,44 persen menjadi 85,3 dolar AS per barel, setelah melonjak lebih dari 6,0 persen semalam.

Investor juga menilai data ekonomi Senin (3/4), yang menunjukkan aktivitas manufaktur AS pada Maret merosot ke level terendah dalam hampir tiga tahun karena pesanan baru anjlok, dan analis mengatakan aktivitas dapat menurun lebih lanjut karena kondisi kredit yang lebih ketat.

"Tren pelemahan telah terjadi sejak Mei tahun lalu, tetapi gejolak perbankan baru-baru ini mungkin semakin merusak kepercayaan," kata analis ANZ dalam sebuah catatan.

"Manufaktur adalah salah satu sektor ekonomi yang paling sensitif terhadap suku bunga, karena barang-barang seperti mobil terutama dibeli secara kredit. Terus ada berita menggembirakan tentang inflasi barang-barang."

Sementara itu, China memperingatkan Ketua DPR AS Kevin McCarthy pada Selasa untuk tidak "mengulangi kesalahan masa lalu yang menghancurkan" dan bertemu dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang sedang mengunjungi Amerika Serikat.

Pada Senin (3/4), kenaikan saham energi membantu mengangkat indeks saham dunia, menyusul pemotongan produksi baru grup OPEC+ yang mengejutkan yang dapat mendorong harga minyak menuju 100 dolar AS per barel. Indeks sektor energi S&P 500 melonjak 4,9 persen.

Namun, prospek biaya minyak yang lebih tinggi menambah kekhawatiran inflasi di Wall Street hanya beberapa hari setelah bukti penurunan harga meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve AS akan segera mengakhiri kampanye pengetatan moneter yang agresif.

Dow Jones Industrial Average naik 0,98 persen, S&P 500 naik 0,37 persen dan Komposit Nasdaq turun 0,27 persen.

Pengamat pasar telah mencoba untuk mengukur berapa lama lagi Fed mungkin perlu terus menaikkan suku bunga untuk mendinginkan inflasi dan apakah ekonomi AS mungkin menuju resesi.

Imbal hasil obligasi pemerintah mundur setelah data manufaktur AS, yang meningkatkan ekspektasi bagi beberapa investor bahwa Fed akan memangkas suku bunga akhir tahun ini karena ekonomi melambat.

Data terpisah juga menunjukkan belanja konstruksi AS melemah pada Februari.
Baca juga: Saham Asia naik di kuartal pertama, tetap mewaspadai inflasi
Baca juga: Saham Asia goyah, pengurangan OPEC+, data AS tingkatkan ketidakpastian

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Budisantoso Budiman
COPYRIGHT © ANTARA 2023