Yangon (ANTARA News) - Kepala Kemanusiaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menyerukan Myanmar untuk berhenti menghalangi bantuan kepada ribuan orang terlantar akibat konflik dengan pemberontak etnis di utara, yang mengundang keprihatinan.

PBB dicegah untuk menjamah setengah lebih dari 75 ribu orang, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat pertempuran antara tentara dan gerilyawan minoritas Kachin, kata Valerie Amos dalam pernyataan yang dikirim semalam, setelah kunjungan ke daerah, Kamis.

"PBB belum diizinkan untuk memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan untuk 39 ribu orang di daerah-daerah di luar kendali pemerintah sejak Juli 2012," kata Wakil Sekretaris Jenderal untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan dan Bantuan Darurat.

Ia mengatakan bahwa mitra lokal menyediakan makanan dan bantuan lainnya, namun mereka kehabisan persediaan, sementara musim dingin selama berbulan-bulan membuat pasokan sangat penting.

Pertempuran sengit berkecamuk di Kachin Myanmar sejak 17 tahun Gencatan Senjata antara militer dan Kachin Independence Army (KIA) hancur pada Juni 2011.

"Pemerintah telah menghentikan akses karena tidak dapat menjamin keamanan kami, sehingga belum memberikan kami izin untuk datang ke daerah pemberontak," kata seorang juru bicara PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

Utusan PBB bertemu dengan Presiden Thein Sein, yang mengawasi reformasi sejak mengambil berkuasa di pucuk pimpinan pemerintahan kuasi sipil tahun lalu, dan menimbulkan kekhawatiran atas kurangnya akses pemerintah dan kamp-kamp yang mengontrol pemberontakan di Kachin.

Myanmar, yang tersiksa karena perang sipil di daerah-daerah etnis sejak kemerdekaan 1948, telah menandatangani kesepakatan gencatan senjata sementara dengan sejumlah kelompok bersenjata utama. Tapi, kesepakatan dengan pemberontak Kachin tetap sulit dipahami, dengan ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua belah pihak.

Pertempuran berlanjut di wilayah tersebut, bersama dengan meletusnya kekerasan komunal antara Budha dan Muslim di negara bagian barat Rakhine, dipandang sebagai suatu kunci batu sandungan pada jalur reformasi Myanmar.

Amos, yang telah mengunjungi kedua daerah selama empat hari perjalanan ke Myanmar, telah menggambarkan kondisi di kamp-kamp Muslim Rohingya yang bermukim di Rakhine dengan keadaan yang mengerikan dan menyatakan keprihatinan atas nasib beberapa orang pengungsi negara tersebut.
(S038)

Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © ANTARA 2012