Jakarta (ANTARA News) - Pakar sosial, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, kasus pernikahan siri Bupati Garut, Aceng Fikri, tak sekedar pelanggaran etika, tetapi merupakan bentuk politisasi terhadap tubuh perempuan.
Keriuhan akibat kasus ini juga menjadi komoditas pemberitaan berbagai media massa internasional.

"Kita harus bicarakan ini secara lebih luas bagaimana tubuh perempuan telah direpresentasikan dan diekspos ke ranah publik apalagi menyangkut keperawanan," kata Pramodhawardani, di Jakarta, Jumat.

Pramodhawardani menjadi salah satu pembicara dalam talkshow DPD Perspektif Indonesia "Bila Pejabat Publik Melanggar Hukum dan Etika", di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Peneliti di Pusat Penelitian LIPI itu, mengatakan, selama ini perempuan hanya dipandang dari kacamata orang lain, khususnya laki-laki.

"Pola pikir saat ini adalah tubuh perempuan harus suci yang ukurannya hanya selaput dara. Kalau selaput daranya sudah robek, seringkali ada pelabelan sebagai perempuan nakal dan sebagainya," katanya.

Dia mengatakan masyarakat Indonesia hidup dalam budaya patriarkal yang lebih mengedepankan peran laki-laki. Karena itu, bila ada perempuan yang ciri-cirinya sudah tidak suci, maka seolah-olah dianggap layak untuk diceraikan.

"Padahal tubuh perempuan, apalagi menyangkut keperawanan, adalah wilayah privat. Saat ini wilayah privat itu justru diekspos dengan gegap gempita oleh media ke wilayah publik," ucapnya.

Dia mengatakan masalah wilayah privat perempuan yang dibawa ke ranah publik bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, kata dia, pada 2010 Komisi IV DPRD Jambi pernah mengusulkan tes keperawanan bagi siswi sekolah.

"Hal serupa juga pernah terjadi di Bengkulu. Begitu juga dalam pelaksanaan perda syariah di Aceh, yang memandang tubuh perempuan hanya dari kacamata laki-laki. Sampai-sampai ada bupati menyatakan perempuan yang tidak menutupi tubuhnya justru menarik untuk diperlakukan semena-mena secara seksual," tuturnya.

Dia mengatakan selama tidak ada perubahan pola pikir terhadap tubuh perempuan, maka kejadian itu akan terus terulang. Menurut dia, tidak hanya wilayah publik saja yang perlu keadilan.

"Hal-hal privat pun harus ada sisi keadilan dan orang yang melanggar juga tetap harus diberi sanksi," katanya. 

(D018/Y008)

Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2012