Al-Khalil, Tepi Barat (ANTARA News) - Pasukan Israel hari Rabu menembak mati seorang remaja Palestina di kota Al-Khalil di wilayah pendudukan Tepi Barat setelah pemuda itu mengancam mereka dengan pistol yang ternyata palsu, kata polisi.

Kekerasan antara Israel dan Palestina di wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967 itu meningkat dalam beberapa pekan terakhir setelah masa tenang yang panjang, lapor Reuters.

Dua orang Palestina tewas di wilayah itu dalam bentrokan dengan Israel dalam sebulan ini.

Insiden terakhir itu terjadi di Al-Khalil (Hebron), sebuah kota yang dilanda ketegangan tinggi antara warga Palestina dan pemukim Yahudi.

Micky Rosenfeld, seorang juru bicara kepolisian Israel, mengatakan, "seorang Palestina menarik sebuah pistol di depan pasukan polisi perbatasan yang berpatroli di Hebron" dekat tempat suci setelah petang tiba.

"Polisi melepaskan tembakan yang mencederai kritis pemuda itu. Ia kemudian dinyatakan tewas di lokasi kejadian," katanya.

Para pejabat medis Palestina mengatakan, pemuda itu berusia 17 tahun.

Rosenfeld mengatakan, penyelidikan awal menunjukkan bahwa "ia menarik pistol palsu. Mereka (pasukan di lokasi itu) mengira itu senjata asli... Tidak jelas mengapa ia melakukannya."

Pembunuhan warga Palestina itu berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan terkait dengan pengumuman Israel untuk membangun 3.000 rumah baru pemukim di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, yang disampaikan setelah Palestina memperoleh pengakuan sebagai negara non-anggota di PBB.

Rencana pembangunan itu menyulut kecaman dari berbagai penjuru dunia, termasuk AS selaku sekutu Israel.

Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon memperingatkan, Minggu (2/12), rencana pembangunan permukiman baru Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat akan menjadi "pukulan hampir fatal" bagi prospek perdamaian dengan Palestina.

"Permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, dan jika permukiman E1 dibangun, maka itu akan menjadi pukulan hampir fatal bagi sisa peluang untuk mencapai penyelesaian dua negara," kata kantor Ban dalam sebuah pernyataan.

Israel sebelumnya telah berjanji membekukan proyek E1 sebagai bagian dari komitmennya sesuai dengan peta jalan internasional bagi perdamaian yang diluncurkan pada 2003.

Palestina menentang keras proyek itu karena sama saja dengan membelah Tepi Barat menjadi dua bagian, yang membuat rumit pembentukan negara Palestina.

Dalam pemungutan suara pada Kamis (29/11) di New York, Mejelis Umum PBB menyetujui sebuah resolusi yang mengakui Palestina dalam perbatasan 1967 sebagai sebuah negara pengamat non-anggota di badan dunia tersebut.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memperingatkan bahwa dengan melangkah ke PBB, Palestina "melanggar" perjanjian-perjanjian terdahulu dengan Israel, seperti Perjanjian Oslo 1993, dan negaranya akan mengambil tindakan yang sesuai.

Perundingan perdamaian terhenti sejak September 2010, dan Palestina mendesak penghentian pembangunan permukiman sebelum kembali ke meja perundingan, sementara Israel menekankan akan melanjutkan perundingan tanpa syarat.

Israel telah lama khawatir bahwa jika Palestina memperoleh status negara non-anggota di PBB, maka mereka akan memburu negara Yahudi itu untuk kasus-kasus kejahatan perang di Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), khususnya menyangkut permukiman.

Dengan status baru itu, Palestina kini memiliki akses ke sejumlah besar badan PBB, seperti ICC, namun Presiden Palestina Mahmud Abbas menekankan bahwa ia belum berencana mengajukan permohonan ke pengadilan itu. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2012