Jakarta (ANTARA News) - Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, Greenpeace, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengutamakan perlindungan hutan serta memperkuat dan memperpanjang waktu pelaksanaan moratorium penebangan hutan yang berakhir pada 20 Mei 2013.

"Perpanjangan dan penguatan moratorium diperlukan untuk memastikan semua kunci perubahan terpenuhi dan kepastian hukum tutupan lahan atau hutan," ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Yuyun menjelaskan terdapat sejumlah kasus yang memperlihatkan perlunya memperpanjang moratorium. Meski Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan telah mengusulkan perpanjangan moratorium kepada Presiden SBY, namun sejumlah bukti menunjukkan bahwa industri dan kementerian terus melobi untuk mencegahnya.

"Inpres moratorium tertunda lima bulan. Hal itu yang membuatnya lemah karena lobi ketat sektor industri dan beberapa kementerian."

Penguatan moratorium, kata Yuyun, sangat penting bagi masa depan Indonesia.

Yuyun menjelaskan sejauh ini hanya ada sedikit kemajuan yang diperoleh dalam moratorium dan banyak indikator kinerja kunci yang merupakan bagian dari perjanjian 1 miliar dolar Amerika dana perlindungan hutan Indonesia-Norwegia yang harus dicapai.

Beberapa indikator kunci tersebut adalah pembentukan badan nasional REDD+, sistem dan badan independen MRV, institusi dan mekanisme keuangan, dan pangkalan data lahan terdegradasi.

Sementara indikator yang sudah terpenuhi seperti moratorium hutan gambut, strategi nasional REDD+, provinsi percontohan dan "safeguard" yang berada di bawah instrumen keuangan.

"Hambatan utama untuk lebih maju adalah tata kelola pemerintahan yang buruk, data dan peta yang usang, kurang jelasnya "safeguard" sosial dan lingkungan serta definisi lahan yang terlantar," tambah dia.

Kemajuan dalam hal REDD+, lanjut dia, hanya bisa dicapai ketika sudah ada kekuatan secara hukum dan data tutupan hutan dan peta penggunaan lahan yang diterbitkan.
(I025/A025)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2012