Bogor (ANTARA News) - Penanganan sampah perkotaan dengan memindahkan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa melalui proses pemilahan hanya akan menimbulkan malapetaka dan konflik karena tidak ada masyarakat yang mau kawasan mereka dijadikan lokasi TPA. "Oleh karena itu, penanganan masalah sampah harus ditekankan pada upaya untuk menjadikannya sebagai gerakan sosial masyarakat," kata peneliti dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir Soeryo Adiwibowo, MSi di Bogor, Kamis. "Pemecahan masalah sampah di Bogor dan kota-kota besar lain bukan terletak pada teknologi, namun perlu ditekankan pada gerakan sosial masyarakat," tambahnya. Ia mengatakan, sudah banyak kasus penolakan masyarakat ketika kawasan tempat tinggal mereka akan dijadikan TPA, yang kemudian berakhir pada konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Kampung Rawajeler, Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor dan terakhir di Purwakarta yang akan dijadikan TPA untuk sampah dari Bandung. Kota Bandung saat ini tengah menghadapi masalah pelik menumpuknya sampah di berbagai sudut kota. Setelah upaya untuk memindahkan sampah ke TPA Pasir Bajing di Kabupaten Garut kandas, pemerintah setempat berupaya mencari lokasi lain di Kabupaten Purwakarta dan Cianjur. Namun rencana ini pun sudah memperoleh reaksi penolakan dari warga Purwakarta. Dari sisi teknologi, kata Soeryo Adiwibowo, sudah banyak sumbangan pemikiran dari perguruan-perguruan tinggi termasuk dari IPB dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, ditegaskannya kembali bahwa teknologi tidak ada artinya jika tidak diikuti oleh gerakan kolektif masyarakat untuk menangani masalah sampah sehingga pemerintah perlu secara berkelanjutan mendidik masyarakat agar mempunyai kesadaran untuk memilah-milah antara sampah organik dan anorganik serta tidak membuang sampah di sembarang tempat. Jika gerakan kolektif seperti ini berjalan, kata dia, di samping masalah sampah teratasi, banyak manfaat ekonomi yang bisa diambil masyarakat secara langsung misalnya dengan memproduksi kompos serta energi biomassa. "Tinggal bagaimana pemerintah membina dan mendidik masyarakat ke arah itu." Namun, ia mengingatkan bahwa gerakan kolektif masyarakat juga tidak akan berjalan dengan baik kalau para pemimpin kita tidak turun langsung untuk memberikan contoh. "Dituntut konsistensi untuk keberhasilan program," katanya. Di kawasan Bogor sendiri, manajemen sampah dengan penekanan pada gerakan kolektif masyarakat juga belum terlihat. Bahkan, Kota Bogor baru-baru ini memperoleh predikat salah satu kota terkotor. "Mungkin karena Kota Bogor kecil, sementara penduduknya banyak, jadi lebih kelihatan semrawut," katanya. Menanggapi evaluasi terhadap Kota Bogor yang rencananya akan diberikan bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup pada 6 Juni mendatang, ia mengatakan, kalau manajemen sampah masih berorientasi pada arus besar saat ini, yaitu dengan mengumpulkan sampah di TPA tanpa didahului proses pemilahan, boleh jadi hasil evaluasi juga tidak akan menunjukkan perbaikan signifikan. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006