Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membantah penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) sebagai bentuk ketidaksanggupan Kejaksaan dalam menangani kasus dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto. "Ini bukan inisiatif kami yang mengatakan Soeharto tidak bisa diperiksa," kata Jaksa Agung di Jakarta, Jumat. Hal itu dikatakan Abdul Rahman Saleh menanggapi hasil survey yang dilakukan Lingkaran Survey Indonesia (LSI) yang menunjukkan keputusan Jaksa Agung mengeluarkan SKP3 Soeharto ditentang 65,4 persen responden yang diambil dari penduduk Jakarta. Pada Kamis (1/6), LSI menyebutkan 65,1 persen responden memaafkan mantan Presiden Soeharto, namun mereka tidak menginginkan proses hukum Soeharto dihentikan. Menurut Direktur LSI, Denny JA, publik tidak menginginkan proses hukum Soeharto dihentikan bukan karena faktor kemarahan atau dendam yang masih tersimpan, tetapi karena publik menginginkan supremasi hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. "Jangan dibalik permasalahnnya seakan kejaksaan tidak setuju," katanya. "Kalau ditanya apa kejaksaan setuju Soeharto diadili, jawabannya jelas setuju dan bisa dilakukan kapan saja bisa," kata pria yang akrab dipanggil Arman itu. Ia menegaskan, ada putusan PN Jakarta Selatan yang menyatakan Soeharto tidak bisa diadili karena sakit dan Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa agar Kejaksaan mengobati presiden yang memerintah Indonesia selama 32 tahun hingga sembuh sebelum diajukan kembali ke persidangan. Abdul Rahman Saleh mengatakan, penerbitan SKP3 pada 11 Mei 2006 itu dilandasi hasil pemeriksaan Tim Independen Pemantau Kesehatan mantan Presiden Soeharto yang menyatakan kondisi kesehatan mantan penguasa Orde Baru itu menjadi lebih buruk dibanding pemeriksaan tahun 2002 lalu. Hasil pemeriksaan Tim Dokter Independen itu menyatakan otak kiri yang mengatur kemampuan verbal telah sakit permanen dan kecil kemungkinan bisa disembuhkan. "Sulit diharapkan ada perbaikan di masa depan. Pak Harto tetap tidak mampu memahami kalimat lebih dari empat kata," kata Jaksa Agung. Pada 21 Agustus 2000, Soeharto diajukan ke persidangan atas dugaan korupsi pada tujuh yayasan yang dipimpinnya. Dalam surat dakwaan disebutkan negara mengalami kerugian sebesar 419 juta dolar AS dan Rp1,3 triliun akibat perbuatan yang dilakukan Soeharto. Pengadilan korupsi yang digelar oleh PN Jakarta Selatan itu terkatung-katung karena kondisi kesehatan Soeharto yang dinyatakan tidak layak untuk disidangkan. Sepanjang Mei 2006 (tanggal 4 hingga 31), Soeharto menjalani perawatan intensif di RS Pusat Pertamina akibat pendarahan usus seperti pada tahun lalu.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006