Jenewa (ANTARA) - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi (UNHCR) mengantisipasi pergerakan 860.000 pengungsi dari Sudan, dan akan membutuhkan 445 juta dolar AS (sekitar Rp6,5 triliun) untuk menopang populasi pengungsi hingga Oktober mendatang.

Rencana Tanggap Pengungsi Regional untuk Sudan, yang disampaikan kepada para donor pada Kamis (4/5), terutama akan mencakup dukungan langsung di Chad, Sudan Selatan, Mesir, Ethiopia, dan Republik Afrika Tengah, kata UNHCR dalam sebuah pernyataan.

"Situasi kemanusiaan di dalam dan sekitar Sudan sangat tragis --kekurangan makanan, air dan bahan bakar, akses transportasi, komunikasi, dan listrik yang terbatas, serta naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok," kata Asisten Komisaris Tinggi UNHCR untuk Operasi Raouf Mazou.

Rencana tersebut dikembangkan atas kerja sama dengan 134 mitra, termasuk badan-badan PBB, LSM (lembaga swadaya masyarakat) nasional dan internasional, serta organisasi masyarakat sipil.

"UNHCR dan mitra memiliki tim darurat dan membantu pihak berwenang dengan dukungan teknis, mencatat kedatangan pengungsi, melakukan pemantauan perlindungan dan memperkuat penerimaan untuk memastikan kebutuhan mendesak terpenuhi," kata Mazou.

"Ini baru permulaan. Bantuan lebih banyak sangat dibutuhkan," ujar Mazou, menambahkan.

UNHCR mengatakan angka 860.000 adalah perkiraan kasar untuk perencanaan keuangan dan operasional.

Warga Sudan akan mencapai sekitar 580.000 dari total angka tersebut.

Selain itu, ada 235.000 pengungsi yang sebelumnya disponsori oleh Sudan pulang dalam kondisi sulit serta 45.000 pengungsi dari negara lain, yang sebelumnya ditampung oleh Sudan.

Kebanyakan pengungsi cenderung tiba di Mesir dan Sudan Selatan.

Lebih dari 330.000 orang telah mengungsi di Sudan sebagai akibat dari pertempuran saat ini, dan tambahan 100.000 pengungsi serta pengungsi yang kembali pergi dari negara tersebut, menurut UNHCR.

Sejak pecah pertempuran militer pada 15 April 2023, lebih dari 550 korban tewas dan lebih dari 5.000 orang lainnya terluka, menurut Kementerian Kesehatan Sudan.

Konflik itu dipicu ketidaksepakatan dalam beberapa bulan terakhir antara tentara dan pasukan paramiliter (RSF) atas integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata, yang merupakan syarat utama perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021, ketika militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat. Langkah itu dianggap oleh kekuatan politik sebagai kudeta.

Masa transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan penyelenggaraan pemilu pada awal 2024.


Sumber: Anadolu

Baca juga: UNICEF: Pertempuran Sudan tewaskan 190 anak-anak

Baca juga: PBB: Harga komoditas di Sudan melonjak


 

385 WNI asal Sudan tiba di Indonesia

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
COPYRIGHT © ANTARA 2023