Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa skrining kesehatan sebelum melangsungkan pernikahan dapat mencegah anak terkena penyakit thalasemia atau kondisi kelainan darah merah bawaan yang diakibatkan dari berkurangnya rantai protein (goblin) pembentuk hemoglobin utama.

“Mengetahui status diri, terutama untuk pembawa sifat atau bukan, itu yang paling penting. Saya harapkan momentum peringatan Hari Thalasemia dapat ditingkatkan komitmen kita bersama secara sinergi, kolaborasi dalam penanggulangan thalasemia di Indonesia,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu dalam Konferensi Pers Hari Talasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.

Maxi menuturkan thalasemia merupakan suatu penyakit yang bersifat tidak menular meskipun diturunkan oleh orang tua. Penyakit tersebut membuat sel darah yang ada di dalam tubuh penderitanya mudah pecah.

Baca juga: IDAI sebut pasien thalasemia saat ini didominasi usia remaja

Kasus thalasemia sudah banyak ditemukan di Indonesia, sebagai salah satu negara yang terletak di wilayah “sabuk thalasemia”, diketahui melalui data milik Kemenkes, 3-10 persen populasinya merupakan pembawa sifat thalasemia. Akibatnya 2.500 bayi yang baru lahir di Indonesia berpotensi terkena thalasemia mayor per tahunnya.

Hingga saat ini thalasemia belum bisa disembuhkan, namun dapat dicegah sejak pasangan merencanakan kehamilan, dimana salah satunya adalah melalui skrining yang bertujuan mengidentifikasi pembawa sifat atau carrier guna menghindari pernikahan antara sesama pembawa sifat, terutama dalam keluarga di satu keturunan.

Maxi mengatakan skrining thalasemia itu hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kemenkes saat ini terus menggencarkan skrining, terutama pada keluarga kandung para penyandang thalasemia.

“Jika kita bisa identifikasi dan edukasi para pembawa sifat agar tidak menikah dengan sesama pembawa sifat, kita bisa mencegah kelainan bayi thalasemia mayor, karena setidaknya kemungkinan (anak terkena thalasemia) dari pernikahan itu 50 persen akibat pembawa sifat ini,” ujarnya.

Selain itu, skrining thalasemia tidak hanya membantu keluarga mempertahankan kualitas fisik dan psikologis anak, tetapi juga mengurangi beban pembiayaan pengobatan thalasemia. Sebab, berdasarkan data BPJS Kesehatan, thalasemia merupakan penyakit nomor lima terbesar dari urutan penyakit katastropik di Indonesia.

“Selain beban ekonomi dan fisik, penyakit ini juga berpengaruh secara psikososial bagi penyandang. Tidak jarang terjadi perubahan fisik pada penyandang juga menjadi ejekan di lingkungan dan kehidupan sehari-hari, ini jadi diskriminasi,” katanya.

Baca juga: IDAI: 2.500 bayi yang lahir di Indonesia berpotensi terkena thalasemia

Baca juga: Pemerintah habiskan Rp2,78 triliun biaya rawat pasien thalasemia


Oleh karenanya, ia memastikan sosialisasi yang diprogramkan oleh pemerintah akan terus diberikan kepada masyarakat, sehingga terbentuk pemahaman yang mendorong masyarakat untuk lebih peduli melakukan skrining thalasemia.

Dalam kesempatannya, Maxi juga meminta agar Hari Thalasemia Sedunia dijadikan sebagai kesempatan bagi semua pihak untuk membantu orang dengan thalasemia menjadi lebih sehat, hidup lebih lama dan produktif, serta terus memperluas ilmu pengetahuannya melalui informasi atau kegiatan positif yang bisa menunjang kehidupan pasien menjadi lebih berkualitas.

“Pada Hari Thalasemia Sedunia 2023, mari bersama-sama kita berkontribusi dengan peran kita masing-masing untuk sadar, peduli dan sebar luaskan edukasi tentang thalasemia untuk perawatan yang lebih baik,” katanya.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
COPYRIGHT © ANTARA 2023