Jakarta (ANTARA) - Direktur Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta menyatakan bahwa peer-to-peer (P2P) lending bisa dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai alternatif investasi dan sarana peminjaman.

“Banyak masyarakat kita, beberapa pelaku menganggap industri kita P2P lending hanya sebagai sarana penyaluran untuk memperoleh pendanaan," kata dia dalam acara Halal Bihalal bersama Media di Senayan, Jakarta, Jumat (5/5).

Menurut dia, P2P lending bisa dilihat dari dua sisi, pertama sebagai alternatif investasi untuk masyarakat yang ingin memanfaatkan dananya, bisa menggunakan P2P sebagai lender. Kedua, masyarakat yang membutuhkan pembiayaan bisa mengajukan pinjaman ke P2P lending.

Saat ini, lanjutnya, ada 102 P2P yang terdiri dari 95 P2P konvensional dan 7 P2P syariah. Untuk rekening lender, terdapat 1 juta dengan lender aktif sebanyak 142 ribu.

Baca juga: OJK ingatkan masyarakat tidak bermain-main dengan fintech ilegal

Selama 5-6 tahun terakhir, penyaluran P2P mencapai Rp583 triliun dengan outstanding sebesar Rp51 triliun. Rata-rata waktu tenor peminjaman P2P cenderung jangka pendek, sekitar dua minggu sampai sebulan sehingga turn over lebih tinggi dan menciptakan repeat order.

“Jadi misalnya saya meminjam Rp500 ribu, minggu depan dilunasi, terus pinjam Rp500 ribu lagi pada bulan selanjutnya sehingga kalau kita melihat tren, penyaluran yang kita relatif sangat tinggi dengan outstanding Rp51 triliun karena memang turn over-nya sangat tinggi,” ucapnya.

Tren pergerakan P2P lending yang cukup tinggi karena memang target dari platform tersebut untuk membiayai masyarakat yang unbankable dan underserved. Mengingat sebagian orang membutuhkan pendanaan dalam waktu cepat, tetapi tidak memiliki agunan sehingga sulit meminjam ke bank yang juga memproses pemberian pinjaman cenderung cukup lama, maka P2P bisa menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Di sisi lain, dia mengingatkan bahwa pihaknya tidak hendak menimbulkan persaingan antara bank dengan P2P, tetapi kolaborasi. Artinya, masyarakat yang membutuhkan pendanaan tetapi tidak terjangkau bank dapat memanfaatkan P2P dengan dana lender dari bank, sehingga cost of fund bisa lebih murah.

Pihaknya telah melakukan kerja sama, antara lain dengan pemerintah daerah di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menyediakan 5 ribu usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan pemerintah daerah Palangkaraya di Kalimantan Tengah dengan 2 ribu UMKM.

“Target kami memang meningkatkan UMKM,” ujar Tris.

Baca juga: Teknologi digital dipercaya dapat mengatasi berbagai persoalan ekonomi

Hingga kini, total pemakai jasa P2P sebanyak 109-110 juta pengguna dengan rekening aktif sebesar 17 juta pengguna. Dengan perbaikan tata kelola seperti pemanfaatan Identitas Kependudukan Digital (IKD) dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), ketimpangan antara total pengguna dan rekening aktif berupaya untuk diatasi.

“Ada satu hal yang mungkin menjadi perbaikan kita khususnya penyelenggara. Misalnya, saya pinjam dapat nomor rekening 123 dan kemudian bisa melunasi pinjaman, lalu dua bulan berikutnya saya pinjam lagi, tetapi memakai rekening bukan yang lama, tapi rekening 124. Jadi, itu yang kami (ingin) memperbaiki tata kelola, apalagi dengan adanya ID digital dari Dukcapil itu akan bisa lebih membantu,” ungkap dia.

Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Nusarina Yuliastuti
COPYRIGHT © ANTARA 2023