Jakarta (ANTARA News) - Mantan Dirut PT Broccolin International Dicky Iskandardinata dituntut hukuman mati karena dinilai terbukti melakukan korupsi dengan menikmati dana sebesar Rp49,2 miliar dan USD 2,99 juta hasil pencairan L/C fiktif Bank Negara Indonesia (BNI) Kebayoran Baru senilai Rp1,9 triliun. "Menuntut Majelis Hakim menyatakan terdakwa Ahmad Sidik Mauladi Iskandardinata bersalah secara sah dan meyakinkan dan menjatuhkan pidana mati," kata JPU Sahat Sihombing ketika membacakan tuntutannya di PN Jakarta Selatan, Selasa. Menurut Jaksa Penuntut Umum, unsur-unsur dalam pasal dakwaan yaitu pasal 2 (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo UU no 20/2001 jo Pasal 55 (1) ke -1 jo Pasal 64 (1) KUHPidana, telah terpenuhi dari pemeriksaan pokok perkara dalam sidang. Pada tahun 2003, sambungnya, Dicky Iskandardinata bersama-sama Adrian Waworuntu (terpidana seumur hidup) dan Marie Pauline Lumowa (masih buron) membahas masalah investasi dan wadah penanaman modal asing maupun dalam negeri. Dalam pertemuan itu disebutkan PT Gramarindo Grup, PT Sagaret Team Consultan, PT Adhitya Putra Pratama Finance, PT Magna Graha Agung dan PT Bhineka Pasific seolah-olah sebagai eksportir namun perusahaan itu hanya nama dan tidak pernah beroperasi. Perusahaan-perusahaan itu telah mengambil barang dari luar negeri dengan pembayaran fasilitas Letter of Credit (L/C) seolah-olah telah transaksi jual beli. Dokumen kelengkapan ekspor tidak pernah diterbitkan perusahaan pelayaran dan L/C yang diterbitkan seolah-olah benar dari sejumlah bank penerbit yang disetorkan ke BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selain menuntut Majelis Hakim menjatuhkan pidana mati, JPU juga menuntut terdakwa membayar denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Dalam pengajuan penuntutan pidana itu, JPU memasukkan faktor pemberatan yaitu perbuatan terdakwa yang sangat tidak mendukung pemerintah dalam program pemberantasan tindak pidana korupsi dan perbuatan terdakwa dilakukan pada saat dilakukan saat krisis ekonomi melanda Indonesia. "Terdakwa tergolong residivis atau dihukum berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan tetap dalam kasus pidana Bank Duta dan tidak membayar uang pengganti Rp800 miliar," kata Sahat. Sebelumnya, pada tahun 1990-an, saat Dicky menjabat Direktur Bank Duta terlibat penjualan valas dan dijatuhi pidana delapan tahun dan membayar uang pengganti Rp800 miliar. Menurut Penuntut Umum, walaupun terdakwa bersikap sopan hal itu tidak perlu dipertimbangkan lagi bila dibandingkan kejahatan yang dilakukan terdakwa. Menanggapi putusan itu, Dicky tampak pucat dan menyatakan siap mengajukan pledoi atau nota pembelaan pribadi dan dari kuasa hukumnya, Augustinus Hutajulu. Sidang yang berlangsung dipimpin Hakim Efran Basuning itu ditunda hingga Selasa, 13 Juni dengan agenda pembacaan pledoi terdakwa dan kuasa hukumnya. Usai sidang, tampak keluarga Dicky menyampaikan dukungannya. Istri, anak-anak dan kerabat Dicky terlihat terpukul dan menitikkan air mata.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006