Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah pusat memastikan akan menanggung beban 49 persen pembiayaan proyek Mass Rapid Transit (MRT) atau sistem angkutan massa cepat bernilai Rp15,7 triliun, sekaligus mengurangi kewajiban pembiayaan pinjaman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"DKI Jakarta perlu sarana transportasi dan untuk itu dipertimbangkan untuk menaikkan porsi share pemerintah pusat menjadi 49 persen, karena dalam ketentuan Viability Gap Fund (VGF) harus tetap di bawah 50 persen," ujar Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Rabu.

Dengan adanya keputusan tersebut, maka skema beban biaya pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) terbaru akan menetapkan 49 persen hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 51 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman.

Menurut Hatta, keputusan ini merupakan solusi terbaik terkait pembiayaan MRT, yang sebelumnya dipermasalahkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, karena operator dari sarana transportasi massal ini adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Ini sesuatu yang pertama kali untuk suatu skema pemerintah pusat memberikan suatu porsi yang cukup besar untuk itu. Saya telah menyampaikan suratnya kepada pak Jokowi," ujarnya.

Melalui keputusan ini, maka Hatta memastikan bahwa proyek MRT akan segera berlanjut, dan diharapkan pembangunan koridor Lebak Bulus-Hotel Indonesia sepanjang 15,7 kilometer dapat dimulai serta selesai pada 2015.

Sementara, Menteri Keuangan Agus Martowardojo telah menghitung ulang skema pembiayaan MRT terbaru dan keputusan untuk mengubah skema beban pinjaman tersebut, masih sesuai dengan porsi pinjaman dan hibah dalam anggaran belanja.

"Dampak fiskalnya sudah bisa kita lihat dan itu terkelola," katanya.

Deputi bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Dedy Priatna mengatakan pemerintah pusat ikut menanggung beban proyek MRT karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki dana terbatas untuk menanggung pembiayaan proyek infrastruktur besar.

Namun, pemerintah pusat merupakan penanggung beban minoritas, karena hal tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan terkait ketentuan pembiayaan proyek infrastruktur melalui skema VGF.

"Wajar kalau pemerintah pusat harus keluarkan dana itu. Tapi ada peraturan menteri keuangan bahwa VGF, apabila memberikan dukungan tidak boleh mayoritas sehingga pemerintah pusat harus minoritas," ujarnya.

Sebelumnya, skema beban biaya pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang telah disepakati pada 2005, menetapkan 42 persen hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan 58 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengajukan usulan skema pengurangan beban biaya baru, yaitu 40 persen dialokasikan sebagai penerusan pinjaman dan 60 persen merupakan hibah kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Hal tersebut dilakukan Jokowi, karena skema pembiayaan yang lama akan memberatkan anggaran subsidi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan membebani masyarakat pengguna transportasi massal dengan harga tiket yang tinggi.

(S034/I014)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2013