Jakarta (ANTARA) -
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menekankan pentingnya keberadaan regulasi kampanye di media sosial (medsos) dalam mengatasi penyebaran hoaks terkait dengan pemilu.
 
Menurut Adinda, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, salah satu penyebab maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah ketiadaan aturan yang jelas mengenai kampanye politik di media sosial.
 
"Salah satu penyebab maraknya penyebaran hoaks dan ujaran kebencian berbasis SARA adalah aturan kampanye politik di media sosial yang masih memiliki banyak persoalan. Hal ini juga dikonfirmasi dalam temuan penelitian The Indonesian Institute," kata dia.
 
Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi di Aula Prof Syukur Abdullah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Senin.
 
Lebih lanjut, Adinda menyampaikan berdasarkan penelitian bertajuk "Penataan Kampanye Politik di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang Informatif dan Edukatif" itu, TII menemukan kampanye politik di media sosial masih belum diatur secara spesifik dan jelas.

Selain itu, bentuk dan mekanisme pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran kampanye di media sosial pun masih belum memadai.

Baca juga: Pakar medsos imbau warga hindari hoaks tahun politik dengan tabayun
 
Berdasarkan temuan tersebut, TII telah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Di antaranya, mereka merekomendasikan agar KPU dan Bawaslu membuat peraturan teknis untuk pemilu dan pilkada yang secara spesifik mengatur kampanye politik di media sosial dan menyelaraskan peraturan-peraturan yang telah ada.
 
Kedua, Bawaslu direkomendasikan memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial.
 
"Ketiga, Bawaslu perlu mengoptimalkan sosialisasi mengenai aturan mengenai kampanye politik di media sosial kepada para peserta Pemilu 2024 agar dapat dipatuhi dengan baik. Keempat, KPU perlu mengatur mengenai standar transparansi dan akuntabilitas iklan kampanye politik," ujar Adinda.
 
Menanggapi hasil temuan TII, mantan Ketua Bawaslu RI dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI yang juga merupakan Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Prof. Muhammad menilai KPU dan Bawaslu harus bersepakat terlebih dahulu untuk membuat aturan pemilu.
 
"Jangan sampai terjadi perdebatan di publik sehingga membuat kegaduhan. Pemilu itu bukan hanya sekadar rutinitas. Penyelenggara pemilu harus berupaya menyelenggarakan pemilu lebih baik dari pemilu sebelumnya. Salah satunya adalah dengan memperjelas dan tegas aturan pemilu sebagai syarat pemilu berintegritas," kata dia.
 
Muhammad juga menyampaikan regulasi yang baik untuk mengatur kampanye di media sosial itu harus memenuhi unsur tidak multitafsir, tidak tumpang tindih, tidak ada kekosongan hukum, dan dapat dilaksanakan.
 
Selain itu, ia pun menilai sosialisasi dari KPU kepada masyarakat terkait aturan pelaksanaan kampanye di media sosial harus digencarkan.

Baca juga: TII harap Bawaslu buat aturan hukum soal pengawasan kampanye medsos
Baca juga: Pemilu 2024 dan pemilu medsos

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2023